Perjalanan Hidup Didi Kempot, dari Pengamen Jadi Musisi Mancanegara
Penyanyi Didi Kempot meninggal dunia pagi ini (5/4) di Rumah Sakit Kasih Ibu, Kota Solo, Jawa Tengah. Mengakhiri 54 tahun perjalanan hidupnya di dunia. Selama hidup ia dikenal sebagai penyanyi campursari yang mendapat julukan The Godfather of Broken Heart atau bapak patah hati.
Julukan tersebut diberikan kepada penyanyi bernama asli Didi Prasetyo ini karena lagu-lagunya mayoritas bertema kesengsaraan cinta. Misalnya lagu Pamer Bojo yang tenar akhir-akhir ini dan membuatnya banjir undangan tampil di sejumlah stasiun televisi dan acara musik, meskipun usianya tak muda lagi.
Namun, Didi bukanlah penyanyi yang tergolong sebagai one hits wonder atau tenar karena satu lagu. Karier bermusiknya panjang dan puluhan lagu hits lain telah diciptakannya. Ia mengawali karier sebagai penyanyi jalanan di Solo pada 1984 atau saat usianya 18 tahun selama lebih kurang dua tahun. Sejak saat itu pula ia mulai aktif mencipta lagu sendiri.
Pada 1987 Didi memutuskan pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib sebagai penyanyi. Ia mengirimkan versi demo lagu-lagu ciptaannya ke sejumlah label rekaman dan sempat berulang kali ditolak. Kepada Kompas.com pada Agustus tahun lalu, ia mengaku caranya mengirimkan lagu dengan menitipkannya ke satpam label rekaman yang dituju.
“Mungkin satpamnya lupa, jadi saya enggak dipanggil-panggil,” kata Didi waktu itu.
(Berita Duka, Penyanyi Campursari Didi Kempot Meninggal Dunia)
Selama masa menunggu panggilan rekaman, penyanyi kelahiran 31 Desember 1966 ini mesti rela hidup pas-pasan di Ibu Kota dan mencari hidup lagi dari mengamen bersama Kelompok Pengamen Trotoar. Dari kelompok ini lah nama panggung Didi Kempot mulai tersemat.
Penantian Didi Kempot akhirnya terjawab pada 1989. Label Musica Studio’s tertarik mengajaknya rekaman. Album perdananya ini resmi rilis pada 1990. Salah satu lagu yang menjadi andalan dan tetap tenar sampai berpuluh tahun kemudian dari album ini adalah Cidro.
Lagu Cidro terinspirasi dari kisah asmara Didi yang sempat gagal. Ia tak disetujui orangtua kekasihnya dan hubungannya pun mesti kandas. “Saya memang bikin lagu selalu bertema pengalaman pribadi,” kata dia dalam acara Rosi Kompas TV, awal Agustus tahun lalu.
Lahir dari Keluarga Seniman
Ketekunan Didi di jalur seni musik tak lepas dari latar belakangnya yang tumbuh dan besar dari keluarga seniman. Ayahnya, Ranto Edi Gudel adalah seniman ketoprak atau drama Jawa terkenal di Solo dan biasa dikenal sebagai Mbah Ranto.
Didi belajar menembang Jawa dan bermain musik dari melihat pentas ayahnya. Ia pun mencoba memainkan gamelan yang ada di rumahnya berikut alat musik lainnya. Dari sini lah bakat musiknya mulai terlihat dan mendapat dukungan dari bapaknya.
Di keluarga Didi, kakaknya yang bernama Mamiek Prakoso juga berprofesi sebagai seniman. Mamiek tenar bersama grup lawak Srimulat asal Surabaya. Dalam grup ini Mamiek sering beradu adegan dengan Nunung, Gogon, Doyok, dan Kadir. Ciri khas dari Mamiek adalah sedikit warna emas di sisi kanan dan kiri rambutnya.
Didi menyatakan, Mamiek lah yang hampir selalu menjadi pendengar pertama dari lagu-lagu yang diciptakannya. Misalnya lagu Pantai Klayar yang menurutnya mendapat pujian dari Mamiek.
“Mamiek sering memuji saya, ‘wah lagumu bagus.’. Kasih dukungan terus. Sampai saya tua pun terus memberikan dukungan,” kata Didi kepada CNNIndonesia, 27 Juli tahun lalu.
(Baca: Tokopedia Diretas, Tips Lindungi Data Pribadi Saat Berbelanja Online)
Menciptakan 800 Lagu dan Tenar di Mancanegara
Pujian Mamiek dan dukungan Mbah Ranto tak keliru. Setelah rekaman album pertama, Didi semakin memperlihatkan kesuksesan di dunia musik. Lagu-lagunya mendapat tempat khusus di jutaan pendengar, khususnya masyarakat Jawa.
Pada 1993 atau tiga tahun setelah lagu Cidro rilis ke pasaran, Didi bahkan sudah mendapat undangan pentas mancanegara. Ia mendapat undangan untuk bernyanyi di Suriname yang sampai saat ini menjadi basis utama penggemarnya.
Tiga tahun setelah mencapai tenar di Suriname, Didi ke Eropa. Di Rotterdam, Belanda ia merekam lagu berjudul Layang Kangen dan kerap mengisi acara musik di sana. Khususnya yang diselenggarakan komunitas orang Indonesia.
Didi kembali ke Indonesia pada 1998. Setahun setelahnya ia menciptakan lagu Stasiun Balapan yang sukses meledak di pasaran. Lagu ini bahkan sempat disebut pengamat musik Denny Sakrie sebagai Bengawan Solo kedua dari sisi ketenarannya.
Memasuki milenium kedua popularitas Didi tak surut, meskipun musik pop sempat mendominasi pasar tanah air. Lagu-lagunya tetap laku di pasar, seperti Kalung Emas yang diciptakan pada 2013 dan Suket Teki yang dirilis pada 2016. Terakhir adalah lagu Pamer Bojo yang sukses merebut hati milenial dengan sisipan kalimat cendol dawet-nya.
(Baca: Selain Tokopedia, Tiga E-Commerce Ini Pernah Diretas)
Sepanjang karier bermusiknya, Didi telah menciptakan lebih kurang 800 lagu. Jumlah yang cukup banyak untuk seorang musisi. Bahkan lebih banyak dari yang pernah diciptakan The Beatles, yakni 150 lagu sepanjang karier grup music asal Inggris itu.
Sayangnya, nasib Didi tak semanis The Beatles. Ia tak bisa menikmati seluruh royalti dari lagu-lagunya karena pembajakan dan menyanyikan ulang tanpa izin oleh musisi lainnya. Membuat perekonomiannya tak sebaik John Lennon dan kawan-kawan.
Soal pembajakan dan menyanyikan ulang tanpa izin, Didi sempat menyatakan, “kalau meng-cover lagu-lagu saya, alangkah indahnya pakai tata krama atu permisi.”
Di tengah pembajakan yang menimpa dirinya, Didi tetap memiliki kepedulian sosial. Ini tercermin dari konser galang dana untuk penanganan covid-19 yang dilakukannya pada pertengahan April lalu, salah satu panggung terakhirnya. Sebanyak Rp 5,3 miliar didapat dari acara yang hanya berlangsung selama lebih kurang tiga jam ini.
Kini, Didi sudah tak bisa bernyanyi lagi. Namun karya-karyanya akan terus menghibur mereka yang patah hati. Seperti katanya, “patah hati alung dijogeti” yang dalam bahasa Indonesia berarti “patah hati lebih baik dijogeti.”
(Baca juga: Lawan Corona, Didi Kempot Sempat Buat Lagu 'Ojo Mudik')