Studi Harvard Buka Kans Perlunya Jaga Jarak Cegah Corona hingga 2022

ANTARA FOTO/Rahmad/nz
Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengikuti sumpah jabatan dengan jaga jarak di halaman kantor Bupati Aceh Utara, Aceh, Kamis (9/4/2020). Peneliti Harvard (14/4) memprediksi social distancing setidaknya perlu dilakukan sampai 2022.
15/4/2020, 15.31 WIB

Menjaga jarak sosial dan fisik alias social distancing demi mencegah penularan rantai virus corona Covid-19 kemungkinan perlu dilakukan hingga 2022 nanti. Jaga jarak tersebut diperlukan guna mencegah kapasitas rumah sakit terlampaui akibat banyak penduduk terinfeksi Covid-19. 

Hal tersebut merupakan hasil studi lima peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health yang dipublikasikan hari Selasa (14/4). Para peneliti Harvard menggunakan perkiraan musim, imunitas, dan lintas imunitas betacoronavirus 0C43 serta HKU1 berdasarkan deret waktu penyebaran di Amerika Serikat hingga 2025.

Hasilnya, virus corona kemungkinan akan terjadi berulang hingga setelah pandemi pertamanya berakhir. Maka, jaga jarak paling tidak hingga tahun 2022 masih diperlukan.

“Prediksi selesainya pandemi pada musim panas (tahun 2020) tak sejalan dengan apa yang kami tahu tentang penyebaran infeksi ini,” kata salah satu peneliti Harvard yakni Profesor Mark Lipstitch dikutip dari The Guardian, Rabu (15/4).

(Baca: Pulih dari Corona, Menhub Budi Karya Jalani Isolasi Mandiri 14 Hari)

Selain Lipstitch, penelitian ini dilakukan oleh Christine Tedijanto dan Edward Goldstein dari Departemen Epidemiologi Harvard T.H. Chan. Nama lainnya adalah Stephen M. Kissler dan Yonatan H. Grad dari Departemen Imunologi dan Penyakit Menular Harvard.

Dari jurnal yang diunduh dalam science.sciencemag.org, peneliti Harvard menggunakan persentase mingguan tes laboratorium positif bagi corona OC43 dan HKU1 dikali proporsi kunjungan medis masyarakat AS akibat penyakit influenza. Ini untuk menghitung perkiraan munculnya penyakit itu hingga beberapa tahun ke depan.

Penelitian ini juga menghitung beberapa komponen seperti rasio infeksi pada musim dingin dan panas, kapasitas rawat inap rumah sakit, dan durasi perawatan pasien.

Angka yang dihasilkan menampilkan adanya pola musiman yang kemungkinan akan meningkat tiap bulan Oktober hingga November.  Namun jaga jarak hingga tahun 2022 bisa jadi tidak diperlukan jika tersedia vaksin, karantina wilayah, dan adanya pelacakan kasus secara efektif.

Penelitian ini hanya mengasumsikan jika tidak ada intervensi spesifik yang dilakukan guna mencegah penularan. Mereka juga menambahkan jika imunitas Covid-19 telah terbentuk secara permanen, penyakit ini bisa menghilang dalam waktu lima tahun atau lebih.

"Intervensi termasuk kapasitas perawatan dan terapi efektif akan mempercepat perolehan kekebalan massal (herd immunity)," tulis penelitian tersebut.

Meski demikian, mereka juga mengatakan penelitian ini masih memiliki kelemahan. Di antaranya adalah studi baru terbatas dilakukan di wilayah yang memiliki empat musim yang berisi 60% penduduk dunia.

“Dinamika wilayah tropis lebih kompleks. Namun kami memprediksi juga akan ada penularan lanjutan yang dipicu musim di (belahan bumi) utara dan selatan,” tulis penelitian tersebut.

(Baca: WHO: Tak Semua Pasien Covid-19 yang Sembuh Kebal Virus Corona)

Sedangkan ahli epidemiologi penyakit menular Universitas Edinburgh, Profesor Mark Woolhouse menyambut baik model pandemi Covid-19 secara tahunan. Namun ia menyoroti penelitian yang baru berdasarkan asumsi, terutama pada faktor kekebalan penduduk.

"Penelitian ini sebaiknya dianggap sebagai sebuah skenario yang mungkin terjadi ketimbang prediksi pasti," kata Woolhuse dilansir dari The Guardian.

 (Catatan Redaksi: Artikel ini ditambahkan pada paragraf 7 dan 9 pada Rabu 15 April 2020 pukul 17.45 WIB untuk menjelaskan metode penelitian dan imunitas Covid-19)