Harga Minyak Tertekan Ekonomi Dunia yang Diramal Terburuk Sejak 1929

KATADATA
Ilustrasi, kilang minyak
15/4/2020, 07.35 WIB

Harga minyak dunia bergerak bervariasi pada pagi, hari ini (15/4). Namun, analis menilai harganya akan tertekan perlambatan ekonomi global yang diprediksi tumbuh minus 3% akibat pandemi corona, atau yang terburuk sejak ‘The Great Depression’ pada 1929.

Proyeksi tersebut disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) kemarin. Ekonomi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa menjadi yang paling terpukul oleh pandemi virus corona.

Perusahaan pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P) memperkirakan, harga minyak di kisaran US$ 35 per barel sepanjang tahun ini. Pasar berjangka menunjukkan bahwa harganya akan tetap di bawah US$ 45 per barel hingga 2023 atau 25% lebih rendah dibanding rerata 2019.

“Itu mencerminkan permintaan yang terus-menerus lemah," kata S&P dalam laporannya, Rabu (15/4). (Baca: OPEC+ Pangkas Produksi, Harga Minyak Tetap Tertekan Corona)

Berdasarkan data Bloomberg, pada pukul 07.10 WIB Rabu, harga minyak Brent untuk kontrak Juni 2020 turun 6,74% menjadi US$ 29,60 per barel. Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Mei 2020 berada di level US$ 20,85 per barel.

Negara-negara pengekspor minyak dan Rusia (OPEC+) memang membuat kesepakatan besar dalam sejarah. Mereka memangkas produksi 9,7 juta barel per hari, atau yang terbesar yang pernah dilakukan.

Kendati begitu, wabah Covid-19 membuat permintaan minyak tertekan. Hal ini tecermin dari pertumbuhan ekonomi global yang diramal minus 3% tahun ini.

(Baca: OPEC+ Pangkas Produksi Terbesar dalam Sejarah, Harga Minyak Terkerek)

IMF mengatakan, jika mengggunakan skenario dasar pandemi corona, ekonomi global dapat tumbuh 5,8% pada tahun depan. Angka ini dua kali lipat lebih dibanding proyeksi sebelumnya 2,4%.

Skenario dasar menggunakan asumsi penyebaran virus corona akan mereda pada semester kedua tahun ini, dan tindakan karantina (lockdown) perlahan dihentikan. "Ada ketidakpastian ekstrim di seluruh dunia terhadap perkiraan pertumbuhan ekonomi," tulis IMF dalam laporan tersebut.

Dampak pandemi virus corona terhadap ekonomi akan sangat tergantung pada faktor-faktor yang sulit diprediksi. Faktor ini termasuk jalur pandemi, intensitas dan kemanjuran upaya pembatasan, luasnya gangguan pasokan, dampak pengetatan dramatis terhadap kondisi pasar keuangan global, pergeseran pola pengeluaran, serta perubahan perilaku.

(Baca: Terburuk sejak "Depresi Besar", IMF Ramal Ekonomi Tahun Ini Minus 3%)

Banyak negara yang menghadapi tekanan krisis berlapis dari gangguan aspek kesehatan, ekonomi domestik, permintaan eksternal, pembalikan arus modal asing hingga harga komoditas yang jatuh. Berdasarkan proyeksi IMF, penurunan ekonomi paling tajam tahun ini akan terjadi di Italia, yakni minus 9,1% atau terjun dari tahun lalu yang masih tumbuh 0,3%.

Ekonomi AS yang saat ini memiliki jumlah kasus dan kematian tertinggi akibat virus corona diperkirakan minus 5,9%. Angka proyeksi ini berbanding terbalik dari tahun lalu yang tumbuh 2,3%.

Kondisi tersebut membuat pasar semakin khawatir bahwa permintaan minyak anjlok akibat mewabahnya virus corona. "Masalahnya, permintaan jangka pendek kemungkinan sekitar 30 juta barel per hari, sementara kondisi kelebihan pasokan tetap ada," kata Analis pasar senior di OANDA yang berbasis di New York Edward Moya dikutip dari Reuters, kemarin (14/4).

(Baca: Pelaku Migas: Pemangkasan Produksi OPEC+ Tak Cukup Dorong Harga Minyak)

Reporter: Verda Nano Setiawan