Mengenal Psikosomatik yang Mengiringi Pandemi Corona

ANTARA FOTO/Maulana Surya/hp.
Relawan memasang poster bertajuk Desain Poster untuk Indonesia Bersama Lawan Corona di halaman Roemah Rakyat, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (1/4/2020). Desain poster yang juga dipamerkan di sosial media tersebut dibuat sebagai media informasi, edukasi, sekaligus pemantik spirit kebersamaan untuk bangsa Indonesia bersatu padu melawan virus COVID-19.
2/4/2020, 15.07 WIB

Berita tentang pandemi Corona yang terus berseliweran di media dan lini masa media sosial membuat Mahfud (35) merasa cemas. Membuatnya memantau suhu tubuhnya hamper setiap jam dan menyemprot tangannya dengan hand sanitizer hampir lima menit sekali, demi memastikan dirinya tetap terhindar dari virus Corona.

Sampai akhirnya pada suatu pagi Mahfud bangun dengan kepala pusing, dada sesak, batuk, dan sedikit demam. Badannya juga terasa lemas. Mirip gejala pengidap Corona. Kepanikannya membuncah dan segera menelepon seorang kawannya. Ia menceritakan kondisinya seraya meminta nomor telepon serta alamat rumah sakit rujukan Corona.

Sial, kawannya tak memiliki nomor telepon dan alamat rumah sakit rujukan Corona. Mahfud pun akhirnya memutuskan ke rumah sakit terdekat. Di situ ia mengadukan keluhannya ke dokter yang bertugas. Dokter lantas memeriksanya dan bertanya apakah ia pernah bertemu dengan pasien Corona atau Orang Dalam Pengawasan (ODP).

Mahfud mengaku tak pernah bertemu semuanya. Dokter kemudian menyarankan tes darah dan foto roentgen. Semua hasilnya normal. Tak ada flek di paru-parunya. Begitu pun darahnya tak menunjukkan tubuhnya sedang melawan bakteri. Pada pasien Corona, sel darah putih selalu tinggi karena mengindikasikan sedang melawan bakteri atau virus.

“Kata dokter gue cuma terlalu cemas dan tegang, sehingga berimbas ke fisik. Katanya gejala psikosomatik,” ujar Mahfud kepada Katadata.co.id, Kamis (2/4).

(Baca: Stres di Tengah Pandemi Corona, Awas Kesehatan Mental Terganggu!)

Apa Itu Psikosomatik?

Psikosomatik, menurut Britannica, adalah kondisi tekanan psikologis yang berpengaruh negatif kepada fungsi fisiologis sampai titik menyakitkan. Ini terjadi lantaran kesalahan aktivasi sistem involuntir dan kelenjar sekresi internal yang mengakibatkan kerusakan struktural pada organ tubuh.

Misalnya ketika seseorang dalam keadaan marah, maka tekanan darahnya akan naik dan membuat detak jantung berdetak lebih cepat, pernapasan meningkat, serta denyut nadi meningkat. Saat kemarahan mereda, maka semua gejala fisik tersebut ikut reda.

Gejala psikosomatik bisa menyerah ke seluruh organ tubuh. Karena organ tubuh berada dalam kendali sistem, bukan dikendalikan kesadaran manusia. Psikiatris Institut Psikoanalisis Chicago, Franz Alexander pada 1950 dan 1960 melakukan penelitian tentang psikosomatik. Hasilnya, setiap orang memiliki kerentanan terhadap psikosomatik berbeda. Tergantung tingkat stabilitas emosinya dan kelemahan tubuhnya dalam merespons gejolak emosi.

Meskipun begitu, penelitian Franz menujukkan tak semua orang yang mengalami gejolak emosi menderita rasa sakit di tubuhnya. Ada pula yang telah lebih dulu sakit lalu timbul stres, seperti penderita kanker, diabetes dan penyakit kronis lainnya.

Sementara menurut Sciencealert, seseorang biasanya mulai mengalami tekanan mental ketika memasuki usia pertengahan 20 tahun dengan berbagai penyebab. Termasuk cemas dengan merebaknya sebuah wabah. Saat ini lebih kurang 10 persen dari pendudukan global memiliki penyakit kecemasan yang mengarah kepada psikosomatik.

(Baca: Transaksi Aplikasi Psikologis AS Naik 2 Kali Lipat Efek Pandemi Corona)

Cara Menghindari Psikosomatik di Tengah Corona

Perkaranya, virus Corona belum juga menunjukkan reda secara global. Media-media pun masih fokus memberitakan tentang pandemi ini. Khusus di Indonesia penanganan penyebaran virus Corona juga masih belum sepenhuhnya maksimal.

Pelaksanaan tes Covid-19 yang berfungsi mendeteksi dini virus ini di tubuh manusia masih rendah di negeri ini. Hanya 25 orang per satu juta penduduk. Jauh di bawah Korea Selatan yang memiliki rasio 8.222 orang per satu juta penduduk.

Data lengkapnya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

Tak ayal muncul seorang yang cemas berlebihan seperti Mahfud di tengah merebaknya virus Corona. Namun, bukan berarti kita tak bisa menghindari psikosomatik. Melansir BBC, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kecemasan selama pandemi Corona.

Pertama, adalah mengurangi membaca berita dan menyeleksi sumber berita tentang Corona. Dengan begitu pikiran tak akan terlalu terpengaruh dengan kondisi pandemi Corona di dunia. Kedua, berjarak dengan media sosial dan konten-konten yang bisa memancing kecemasan. Mayoritas perbincangan soal Corona adalah melalui media sosial, termasuk hoaks tentang penyakit ini yang bisa membuat pikiran terganggu apabila tak bisa segera mengonfirmasi kebenarannya. Maka, menghindarinya adalah langkah baik untuk kesehatan mental.

Ketiga, tetaplah berhubungan dengan kerabat dekat. Karena kesepian selama masa karantina dan social distancing sangat memengaruhi kondisi mental. Berhubungan bisa dilakukan dengan menggunakan aplikasi video conference seperti Skype. Terakhir, rajin berolahraga. Sebab olahraga akan bisa mengaktifkan hormon baik dalam tubuh.