Taiwan yang berjarak 81 mil dari pusat episentrum virus corona atau Covid 19 di Tiongkok, berhasil menghalau wabah tersebut. Aksi cepat tanggap Taiwan mendapatkan pujian karena berhasil memblokade corona masuk ke dalam negeri yang berpenduduk 23 juta orang tersebut. Hingga Jumat (13/3) jumlah kasus corona di negara tersebut sebanyak 49 dengan satu orang meninggal.
Ketika wabah virus corona pertama kali muncul pada Desember 2019 di Wuhan, Tiongkok, komunitas internasional memprediksi Taiwan akan menjadi salah satu negara yang tertular dengan cepat. Karena kedekatan geografis, keduanya saling terhubung. Sepanjang 2019, 2,71 juta orang Tiongkok mengunjungi Taiwan. Ditambah lagi, terdapat sekitar 850 ribu warga Taiwan yang tinggal dan bekerja di Tiongkok.
(Baca: Tiongkok Kirim Tim dan Alat Medis untuk Italia dalam Tangani Corona)
Direktur Pusat Kebijakan, Hasil dan Pencegahan Penyakit dari Universitas Stanford Jason Wang mengatakan kunci keberhasilan pemerintah Taiwan adalah kewaspadaan yang sangat tinggi. “Ketika wabah corona akan menjadi masalah besar, Taiwan sudah mempersiapkan diri dengan banyak hal," kata Jason dikutip dari NBC News.
Spesialis penyakit menular dari Vanderbilt University, William Schaffner, menilai keberhasilan Taiwan menangkal corona karena sikap para pemimpin yang terbuka dalam mendengarkan saran organisasi kesehatan, serta ilmuwan dan dokter. “Saya pikir itu formula yang sangat bagus,” kata William seperti yang dilaporkan Aljazeera.
(Baca: Strategi Jerman Hadapi Lebih 1.000 Kasus Positif Corona Tanpa Kematian)
Pemerintah Taiwan dikenal menerapkan pendekatan mitigasi khusus yang cukup baik dalam menyikapi penyebaran virus corona. Berikut rangkaian upaya yang dilakukan pemerintah Taiwan:
1. Belajar dari SARS
Dalam menangani virus corona, Taiwan belajar dari pengalamannya ketika menghadapi wabah SARSr-CoV atau SARS pada 2003 lalu. Ketika itu, SARS menyebabkan 343 orang terinfeksi dan 73 orang meninggal di Taiwan.
Mengutip dari Aljazeera, saat menghadapi corona, pemerintah Taiwan memilih untuk belajar dari sejarah ketimbang membuang waktu menunggu instruksi dari organisasi kesehatan dunia WHO. Taiwan berinisiatif bertindak lebih awal saat kabar perihal penyebaran virus corona masih belum begitu jelas.
"Taiwan sangat terpukul oleh SARS dan, dengan pelajaran yang keras dan pahit itu, Taiwan datang dengan sangat siap," kata Chunhuei Chi, seorang profesor di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dan Humaniora di Oregon State University.
Sejak 31 Desember 2019 - kasus corona tahap awal merebak di Wuhan, Tiongkok- pemerintah Taiwan sudah berinisatif memeriksa kesehatan warganya yang melakukan perjalanan dari Tiongkok. Padahal, kala itu, corona belum diketahui sebagai penyakit yang mematikan dengan tingkat penularan yang tinggi.
(Baca juga: Masyarakat 'Gerah' Tuntut Transparansi Pemerintah Atasi Wabah Corona)
2. Mempertahankan Pusat Komando
Setelah menghadapi endemi SARS pada 17 tahun lalu, pemerintah Taiwan langsung berinisiatif mendirikan banyak pusat komando di berbagai wilayah. Pusat-pusat komando tersebut kemudian terus dipertahankan dari tahun ke tahun untuk berjaga-jaga apabila jika endemi lain hadir di masa depan.
Dilansir dari NBC News, organisasi Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Taiwan sudah mengaktifkan kembali pusat-pusat komando pada 20 Januari 2020, sehingga dapat sesegera mungkin meluncurkan langkah-langkah pengendalian epidemi.
Taiwan telah dengan cepat menghasilkan dan menerapkan daftar setidaknya 124 item tindakan dalam lima minggu terakhir, yaitu tiga hingga empat per hari, untuk melindungi kesehatan masyarakat," kata Jason Wang dari Universitas Stanford.
Berkat ketersediaan infrastruktur pusat komando tersebut, Taiwan sudah unggul beberapa langkah dibanding negara lain dalam hal pengumpulan data, pendistribusian bantuan dana dan sumber daya, penyelidikan riwayat pasien, serta isolasi pasien saat virus corona menyerang.
Dipimpin langsung oleh Menteri Kesehatan Taiwan Chen Shih-Chung, pusat-pusat komando tersebut bekerja di bawah koordinasi antara berbagai kementerian dan pemerintah daerah. Sehingga, mobilisasi tenaga ahli medis ke rumah warga dan sekolah dapat berlangsung secara merata.
(Baca: WNI Positif Corona di Singapura Bertambah Lagi jadi 7 Orang)
3. Memastikan Persediaan Masker
Pemerintah Taiwan berusaha memastikan pasokan masker dapat memenuhi kebutuhan warganya sejak minggu pertama di bulan Februari. Dilansir dari CNN, Taiwan mengantisipasi kelangkaan, penimbunan, dan permainan harga masker dengan mengambil alih serta memperketatat produksi, distribusi dan penjualannya.
Salah satunya, adalah dengan melarang ekspor masker medis sejak 24 Januari lalu, kemudian disusul dengan meminta persediaan masker yang diproduksi di seluruh negeri pada 31 Januari.
Pemerintah kemudian mendistribusikan masker ke rumah sakit, super market, dan apotik, untuk memastikan warga Taiwan dapat dengan mudah mengakses pembelian masker.
Bahkan, pemerintah juga menetapkan harga masker hanya dipukul rata 5 dollar Taiwan atau sekitar Rp 2.000 per lembar. Kendati di jual harga murah, warga Taiwan tetap harus menunjukan kartu identitas asli dan kartu asuransi nasional agar bisa membeli masker.
Warga dengan nomor identitas ganjil dapat membeli masker di setiap Senin, Rabu dan Jumat. Sedangkan warga dengan nomor identitas genap dapat membeli hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Hanya di hari Minggu saja warga Taiwan dapat membeli masker tanpa melihat nomor identitas.
Pemerintah mengatur juga jumlah pembelian. Orang dewasa hanya diperbolehkan membeli paling banyak tiga lembar masker dalam satu hari, sedangkan anak-anak dapat membeli maksimal lima lembar masker.
Dengan penganggaran yang baik, pemerintah Taiwan hanya dalam waktu sebulan juga berhasil menciptakan 60 jalur produksi masker dan meningkatkan angka produksinya menjadi 10 juta lembar per hari.
Tak hanya memastikan persediaan masker, Aljazeera melaporkan, pemerintah Taiwan juga menyebarkan gerakan penggunaan hand sanitizer di seluruh ruang-ruang publik di Taiwan.
(Baca: Kemendag Tak Bisa Batasi Lonjakan Harga Masker hingga Jutaan Rupiah)
4. Tindakan Cepat dan Ketat
Pemerintah Taiwan mewajibkan warganya melaporkan perjalanan sejak minggu pertama Februari. Mereka menggunakan sistem pemindaian kode QR yang tersedia di setiap bandara dan stasiun.
Dari pelaporan tersebut, warga Taiwan yang diketahui memiliki riwayat perjalanan ke sejumlah daerah di Tiongkok akan dikarantina selama 14 hari, sekali pun tidak menunjukan gejala sakit.
Pemerintah akan memberikan denda bila warganya tidak mematuhi aturan tersebut. Seorang pria pernah didenda US$ 10 ribu karena tidak melapor setelah teridentifikasi memiliki gejala terinfeksi Covid-19.
5. Informasi yang Transparan
Pemerintah Taiwan juga memberikan informasi kepada masyarakat menggunakan teknologi media massa dan ponsel milik warga. Setiap harinya warga Taiwan menerima pengumuman pesan singkat dari CDC tentang potensi penularan virus.
“Kami berpikir hanya ketika informasi transparan, dan orang-orang memiliki pengetahuan medis yang memadai, ketakutan mereka akan berkurang," kata Juru Bicara Pemerintah Taiwan, Kolas Yotaka kepada NBC News.
Mereka juga menayangkan edukasi setiap satu jam di televisi dan radio berupa iklan layanan publik yang menjelaskan tentang virus corona, seperti bagaimana penyebarannya dan bagaimana cara mencegah penularannya. Iklan tersebut juga memuat panduan mencuci tangan yang benar dan memilih waktu yang tepat menggunakan masker.
Tak hanya itu, pemerintah berupaya mencegah diskriminasi dengan menjelaskan penularan virus corona tak terkait dengan ras seseorang, tapi tergantung riwayat perjalanannya.
(Baca: Jokowi Sebut Batasi Informasi Corona untuk Cegah Kepanikan )
Repoter/Penulis: Mario Baskoro (Magang)