Lima Aturan Kontroversial dalam Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja

Sejumlah buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Selasa (28/1/2020). Mereka menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebab para buruh mengaku tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut dan isinya dinilai akan semakin menurunkan kesejahteraan buruh dengan ditiadakannya kewajiban membayar pesangon, penghapusan peran serikat pekerja, mudahnya buruh di-PHK serta pemberlakuan upah hanya berdasar jam kerja.
Penulis: Pingit Aria
13/2/2020, 19.57 WIB

Presiden Joko Widodo telah menandatangani surat presiden atau surpres terkait draf omnibus law cipta lapangan kerja. Dengan ditandatanganinya surat tersebut, maka pembahasan draf rancangan undang-undang (RUU) tersebut segera dibahas di DPR.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bersama Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto telah menyampaikan surpres serta draf RUU Cipta Lapangan Kerja kepada pimpinan DPR pada Rabu (13/2).

Selanjutnya, pimpinan DPR akan membawa surpres dan draf RUU tersebut untuk dibahas dalam rapat paripurna. Setelah itu, hal tersebut akan dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk kemudian diputuskan komisi yang akan membahas rancangan beleid tersebut dengan pemerintah. “Kami ikuti saja prosedur yang berlaku di DPR,” kata Ida.

(Baca: Begini Aturan Pesangon dalam Omnibus Law )

Dalam draf yang diterima Katadata, RUU Cipta Lapangan Kerja yang kini namanya diganti menjadi Cipta Kerja (Cika) berisi 1028 halaman yang membahas berbagai hal, dari peningkatan ekosistem investasi, ketenagakerjaan, hingga jaminan sosial.

Masalah ketenagakerjaan dibahas secara khusus pada Bab IV. Di antaranya berisi beberapa ketentuan yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4279).

Beberapa pasal dalam draf RUU ini potensial menimbulkan kontroversi.   Berikut poin-poinnya:

1. Masuk enam hari kerja

Pada pasal 89 poin 22 berisi perubahan dari pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Isinya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Waktu istirahat wajib diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama 4 jam, dan “Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu,” demikian dikutip.

Sedangkan, waktu kerja paling lama 8 jam perhari, dan 40 jam dalam satu minggu.

(Baca: Bonus Pekerja di Omnibus Law Berdasarkan Masa Kerja, Ini Ketentuannya)

2. Ketentuan lembur

Pada pasal 89 poin 20 tercantum, pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu serta skema periode kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Upah minimum ditetapkan gubernur

Upah minimum tidak diatur secara nasional. Pada pasal 89 poin 24 disebutkan, Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Upah minimum tersebut dihitung dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Hanya, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk industri kecil. Demikian pula untuk industri karya akan dibuat ketentuan tersendiri.

Selain itu, pada pasal 89 poin 30 disebutkan bahwa pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas

4. Ketentuan pesangon

Saat terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib memberikan pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi buruh.

(Baca: Diatur Omnibus Law, Perusahaan Besar Bakal Beri Bonus Lima Kali Gaji)

Pada pasal 89 poin 45 disebutkan bahwa uang pesangon itu dihitung menurut masa kerja. Ketentuannya:

  1. Masa kerja kurang dari 1 tahun, pesangon 1 bulan upah.
  2. Masa kerja 1 - 2 tahun mendapat 2 bulan upah.
  3. Masa kerja 2 - 3 tahun, mendapat 3 bulan upah.
  4. Masa kerja 3 - 4 tahun, 4 bulan upah.
  5. Masa kerja 4 - 5 tahun, 5 bulan upah.
  6. Masa kerja 5 - 6 tahun, 6 bulan upah.
  7. Masa kerja 6 - 7 tahun, 7 bulan upah.
  8. Masa kerja 7 - 8 tahun, 8 bulan upah.
  9. Masa kerja 8 tahun atau lebih, mendapat pesangon 9 bulan upah.

Sedangkan, perhitungan uang penghargaan masa kerja diatur sebagai berikut:

  1. Masa kerja 3 - 6 tahun, mendapat 2 bulan upah.
  2. Masa kerja 6 - 9 tahun, 3 bulan upah.
  3. Masa kerja 9 - 12 tahun, 4 bulan upah.
  4. Masa kerja 12 - 15 tahun, 5 bulan upah.
  5. Masa kerja 15 - 18 tahun, 6 bulan upah.
  6. Masa kerja 18 - 21 tahun, 7 bulan upah.
  7. Masa kerja 21 tahun atau lebih, mendapat 8 bulan upah.

Bagaimanapun, pengusaha dapat memberikan uang penggantian hak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran uang pesangon serta uang penghargaan masa kerja juga akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5. Bonus tahunan

Pada pasal 92 disebutkan bahwa pemberi kerja berdasarkan Undang-Undang ini memberikan penghargaan lainnya kepada pekerja/buruh. Berikut ketentuannya:

  1. Pekerja dengan masa kerja kurang dari 3 tahun, sebesar 1 kali upah.
  2. Pekerja yang memiliki masa kerja 3 - 6 tahun, sebesar 2 kali upah.
  3. Pekerja yang memiliki masa kerja 6 - 9 tahun, sebesar 3 kali upah.
  4. Pekerja yang memiliki masa kerja 9 - 12 (dua belas) tahun, sebesar 4 kali upah.
  5. Pekerja yang memiliki masa kerja 12 tahun atau lebih, mendapat bonus 5 kali upah.

Pemberian penghargaan ini diberikan satu kali dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

(Baca: Pengusaha Keberatan Ketentuan Bonus Lima Kali Gaji dalam Omnibus Law)

Reporter: Rizky Alika