Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, pengembangan lapangan gas di Blok East Natuna masih terkendala. Maka itu, Pertamina selaku pengelola blok tersebut akan mendulukan pengembangan lapangan minyak.
Kendala yang dimaksud yakni pemisahan kandungan karbondioksida (CO2) di dalam gas yang mencapai 72%. "Gasnya kan susah karena CO2 tinggi, makanya minyak dulu. Kalau minyak pasti laku lah dijual, kita kan kurang," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto di Jakarta, Senin (6/1).
(Baca: Sengketa dengan Tiongkok, Asosiasi Nelayan Kirim 500 Kapal ke Natuna)
Ia menjelaskan, Pertamina sudah mengajukan izin untuk pemindahan kegiatan eksplorasi dari lapangan gas ke lapangan minyak. Sejauh ini, terdapat dua lapangan minyak yang bisa dikembangkan di Blok East Natuna.
Di sisi lain, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pihaknya terus berupaya mencari mitra bagi Pertamina untuk mengelola Blok East Natuna. Pertamina membutuhkan mitra lantaran pengembangan blok migas tersebut membutuhkan teknologi dan biaya yang cukup tinggi. "Itu yang sedang kami cari," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H. Samsu mengatakan Blok East Natuna memiliki potensi migas yang cukup bagus. "Minggu depan kami baru mau diskusi lagi dengan pemerintah mengenai cara yang paling tepat untuk melakukan aktivitas di East Natuna," ujar dia, Jumat (3/1), pekan lalu.
(Baca: Natuna: Heroisme Sporadis versus Pengurusan Efektif)
Blok East Natuna sudah ditemukan sejak 1973 dan memiliki potensi cadangan gas terbukti 46 triliun kaki kubik. Namun, pengembangannya terhambat oleh teknologi dan biaya yang cukup tinggi. Untuk menggaet investor, pemerintah tengah mengkaji beberapa insentif.
Insentif yang dimaksud antara lain, keringanan pajak berupa tax holiday selama lima tahun. Kemudian, insentif kontrak yang lebih lama hingga 50 tahun, dan insentif berupa bagi hasil yang lebih besar untuk kontraktor. Bahkan, ada skenario bagi hasil migas blok tersebut bakal diberikan 100% kepada kontraktor.