Refleksi 2019 ICW: Agenda Jokowi Berantas Korupsi Hanya Demi Investasi

ANTARA FOTO/Maulana Surya
Pengunjung membubuhkan cap tanda tangan untuk kampanye anti korupsi di lokasi kegiatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day (CFD) Solo, Jawa Tengah, Minggu (8/12/2019). Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat agenda pemberantasan korupsi sepanjang 2019.
Editor: Ekarina
29/12/2019, 22.14 WIB

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat agenda pemberantasan korupsi sepanjang 2019 dengan mengidentifikasi kebijakan antikorupsi pemerintah, baik pada tataran legislasi atau regulasi. Dari kebijkan yang ada, ICW menilai, program anti korupsi Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya terbatas pada reformasi sektor ekonomi dan bisnis dengan tujuan utama menciptakan ikim sehat untuk menarik investasi.

Sementara program anti korupsi pada sektor lain tidak diprioritaskan karena berbenturan dengan partai dan elit bukan jalan yang ditempuh Jokowi. Konsekuensinya, tampak pada dari legislasi revisi Undang-undang (UU) KPK sebagai badan anti korupsi indpenden.

(Baca: ICW Minta Jokowi Cabut Grasi Eks Gubernur Riau Annas Maamun )

Di saat yang sama, Jokowi memiliki kepentingan untuk menciptakan suasana tenang, tanpa kegaduhan yang kerap diasosiasikan dengan operasi tangkap tangan KPK. Hasilnya, revisi UU KPK berhasil digolkan kendati marak berbagai aksi penolakan masyarakat dan mahasiswa.

"Ada dua kepentingan bertemu, elit partai untuk mengamputasi KPK dan kepentingan Presiden untuk ‘menertibkan’ hal-hal yang berbau keributan," tulis ICW dalam laporannya, Minggu (29/12). 

Adapun revisi UU KPK merupakan fase kedua pelemahan KPK setelah pada tahap pertama, Presiden dan DPR menyepakati paket Pimpinan KPK yang diketuai oleh polisi aktif Firli Bahuri.

Lembaga ini juga menyoroti beberapa kebijakan anti korupsi 2019 juga dikritisi sebagai catatan dan agenda anti korupsi pemerintah ke depan. ICW menilai Presiden ingkar janji untuk memperkuat KPK dengan terpilihnya sosok tidak berintegritas menjadi pimpinan KPK.

Poin berikutnya, ICW menyoroti marak vonis ringan untuk koruptor. Potret berulang vonis ringan terhadap pelaku korupsi kembali terjadi di 2019. Namun bedanya, kali ini pemberian diskon hukuman juga marak terjadi di tingkat peninjauan kembali (PK).

Lembaga ini melaporkan setidaknya ada dua putusan yang dianggap fatal bagi pemberantasan korupsi. Pertama, vonis lepas terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Tumenggung (mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional)  pada tingkat kasasi.

Lalu, vonis bebas terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 oleh mantan Direktur Utama PLN, Sofyan Basir. 

Poin ketiga, ICW juga menyoroti tindak pidana korupsi masuk dalam RKHUP serta Revisi UU permasyarakatan yang berpihak pada koruptor terlalu dipaksakan.

Keempat, narasi hukuman mati koruptor. ICW menilai Jokowi memberikan pernyataan tentang hukuman mati bagi pelaku korupsi saat perayaan hari anti korupsi dunia 2019. Sepintas, presiden serius dalam isu pemberantasan korupsi, namun hukuman mati bukan merupakan startegi efektif untuk memeberantas korupsi.

Berikutnya, ICW juga menyoroti sikap Jokowi yang hanya fokus pada isu pencegahan korupsi. Berulang kali Jokwoi meneybutkan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan sektor penindakan namun juga pencegahan.

(Baca: Disorot Istana, Ketua KPK Mengaku Tak Jabat Posisi Struktural di Polri)

Selain itu, ICW juga menyoroti bahwa negara gagal dalam melindungi pegiat anti korupsi dari teror. Berdasarkan catatan ICW sejak 1996 hingga Desember 2019 kasus teror yang dialami oleh pegiat anti korupsi ada sebanyak 92 kasus dan korbannya mencapai 118 orang.

Adapun tiga kasus yang tidak terselesaikan secara tuntas oleh negara diantaranya yakni, kasus mangkrak penyerangan terhadap Novel Baswedan, Pembiaran kasus ancaman bom terhadap pimpinan KPK, serta peretasan sebagai cara baru koruptor menyerang pegiat anti korupsi.

Rekomendasi ICW

Berdasarkan catatan tersebut, ICW pun memberi beberapa rekomendasi.  Pertama, publik harus terus mendorong agar Presiden Joko Widodo menerbitkan PerPPU KPK untuk menyelamatkan masa depan agenda pemberantasan korupsi.

Kedua, lembaga yudisial, khususnya Mahkamah Agung harus terus berbenah dengan meletakkan kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime sehingga vonis yang dijatuhkan dapat  menggambarkan efek jera maksimal.

Selanjutnya, publik perlu menyadari bahwa mengharapkan presiden untuk mengubah keadaan dan melakukan reformasi merupakan hal yang sulit.

(Baca: Istana Sebut Terbitnya Tiga Perpres Bukan Upaya Jokowi Lemahkan KPK)

Oleh karena itu, publik perlu menyadari bahwa reformasi kelembagaan, dalam hal ini partai politik, jauh lebih penting untuk menciptakan sistem checks and balances yang kuat. Sehingga setiap pengambilan keputusan selalu dalam pengawasan politik dan pengawasan publik.

Selain itu, publik perlu menyadari bahwa situasi yang dihadapi hari ini jauh lebih menantang, terutama karena Pemerintah dan DPR tidak dapat diharapkan untuk memberantas korupsi.

"Oleh karena itu, peran publik untuk mengawasi kerja pemerintah dan mendorong agenda pemberantasan korupsi menjadi lebih penting ke depan," tulisnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan