Pemerintah Diminta Batasi Investasi Tiongkok Terkait Kekerasan Uighur

Katadata/Metta Dharmasaputra
Suasana di Xinjiang International Grand Bazaar, Urumqi, Xinjiang, Tiongkok. Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana meminta RI mengambil sikap tegas lantaran persoalan di Xinjiang ini telah menjadi isu internasional.
18/12/2019, 14.35 WIB

Pemerintah diminta bersuara lantang terhadap kabar kekerasan yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap suku Uighur. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana meminta RI mengambil sikap tegas lantaran persoalan di Xinjiang ini telah menjadi isu internasional.

Hikmahanto menjelaskan pemerintah dapat menunjukkan protes dengan membatasi hubungan ekonomi dengan Tiongkok. Contohnya membatasi pinjaman dan investasi dari Negeri Panda tersebut.

“Mengingat Indonesia adalah pasar potensial bagi pemerintah dan pelaku usaha Tiongkok,” kata Hikmahanto dalam keterangan resmi, Rabu (18/12).

(Baca: Uighur Jadi Target Peretasan, Manfaatkan Kelemahan Iphone)

Selain itu pemerintah perlu menggandeng Gerakan Non Blok (GNB) untuk menekan Tiongkok agar menghentikan kekerasan terhadap minoritas Uighur. Hikmahanto juga menyarankan persoalan ini dibawa ke Dewan Hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“Meminta adanya sidang darurat mengingat Indonesia adalah anggotanya,” kata Hikmahanto.

Duta Besar Tiongkok untuk RI Xiao Qian telah bertemu dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Bina Graha, Jakarta, Selasa (17/12). Dalam pertemuan tersebut Dubes Qian membantah adanya tindakan represif terhadap minoritas Uighur.

Dia mengatakan pemerintah Tiongkok memerangi radikalisme dan terorisme d wilayah Xinjiang. Tak hanya itu, dia juga mengajak masyarakat RI berkunjung langsung guna melihat kondisi suku Uighur di sana.

“Silakan jika ingin berkunjung, beribadah, dan bertemu dengan masyarakat Uighur,” katanya.

(Baca: Tiongkok Larang Tulisan Arab dan Logo Halal di Pertokoan dan Restoran)

Adapun Moeldoko mengatakan persoalan Uighur di Xinjiang merupakan masalah internal Tiongkok. Dia menjelaskan perkembangan teknologi acapkali membuat pemerintah sulit menangkal maraknya hoaks.