Sejak tahun lalu, PT Pertamina (Persero) melaksanakan program digitalisasi pipa pengisian (nozzle) bahan bakar minyak (BBM) untuk meningkatkan akuntabilitas penyaluran jenis BBM tertentu. Dari target 5.518 Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU), perseroan baru menjangkau 2.539 SPBU per 12 Desember 2019.
Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, program digitalisasi nozzle ini merupakan hasil kerja sama Pertamina dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. Digitalisasi nozzle dilakukan agar penyaluran BBM bersubsidi dan BBM satu harga terjamin ketersediannya. Hasil penjualan BBM tersebut juga akan terekam secara akurat dan laporannya masuk secara real time. Digitalisasi nozzle juga menjamin tidak ada kecurangan dalam penyaluran BBM.
Berikut ini lima fakta mengenai cara kerja digitalisasi nozzle SPBU Pertamina yang kami rangkum dari berbagai sumber.
1. Telkom memasang sensor untuk menghitung penyaluran BBM
Seperti dilansir Liputan6.com, Telkom memasang sensor pada tangki pendam yang terdapat di SPBU. Sensor juga dipasang pada keran penyaluran BBM dari dispenser hingga ke pipa pengisian. Sensor ini bisa dijalankan dengan teknologi 3G jika di lokasi SPBU tidak tersedia teknologi 4G.
Telkom juga menyediakan aplikasi dan jaringan internet yang dibutuhkan untuk menampung dan menyalurkan data yang dikirimkan oleh sensor. Data penyaluran BBM akan tercatat secara digital kemudian ditransfer ke pusat data untuk dilaporkan ke Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas).
Data penyaluran BBM dari Pertamina akan dicocokkan dengan realisasi penyaluran BBM yang terekam secara digital. Jika terdapat selisih, Pertamina akan menanggung selisih tersebut.
(Baca: Awasi Penyaluran BBM Subsidi, Pertamina Terapkan Nozzle Digital)
2. Pilot Project dimulai dari 10 SPBU
Pilot project untuk digitalisasi nozzle ini dimulai dengan 10 SPBU pada 3 September 2018. Nicke menyebutkan, SPBU tersebut antara lain adalah SPBU di Tol Cipali arah Bandung dan SPBU di Fatmawati, Jakarta Selatan.
3. Target terus mundur
Ketika pertama kali meluncurkan program digitalisasi nozzle ini, Pertamina menargetkan dapat mengimplementasikannya di 5.518 SPBU pada akhir 2018 atau kuartal pertama 2019. Target ini gagal terpenuhi dan mundur menjadi Juni 2019. Namun, hingga 12 Desember lalu baru terealisasi sebanyak 2.539 SPBU. Pertamina menargetkan proyek tersebut dapat rampung sepenuhnya pada akhir 2019.
(Baca: Pertamina Klaim Distribusi BBM Lebih Efisien dengan New Gentry System)
4. Terhambat teknologi SPBU yang kuno
Seperti dikutip dari Kumparan.com, Direktur Pemasaran Ritel Pertamina Masud Khamid mengatakan, proyek digitalisasi nozzle belum tuntas lantaran SPBU-SPBU yang ada di Indonesia merupakan konstruksi lama sehingga tidak mengakomodir desain digitalisasi nozzle.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum DPP Hiswana Migas Rachmad Muhammadiyah. Ia menyatakan kendala terbesar lantaran sebagian besar fasilitas SPBU di Indonesia memiliki umur operasi yang relatif tua. “Dari sisi tangki timbun maupun mesin sudah lama (tua) dan (SPBU) di daerah-daerah, mesin masih sangat kuno," ujarnya seperti dikutip Republika. Omzet SPBU tersebut juga tidak terlalu besar sehingga berat jika harus membeli peralatan yang baru.
Penyebab lain berasal dari minimnya pemahaman pengelola SPBU. Mereka khawatir pemasangan sensor digital akan mengganggu keamanan SPBU. Namun, Masud memastikan hal ini telah diatasi Pertamina lewat upaya edukasi kepada para pengelola SPBU.
Kendala terakhir adalah beragamnya integrasi aplikasi. “Jadi memang meskipun secara hardware itu sudah di-install semua tapi itu perlu integrasi dan yang diintegrasikan tidak sekadar mendigitalkan pengukuran SPBU tetapi juga dengan pos LinkAja,” kata Masud. Dari 2.539 SPBU yang telah terdigitalisasi, terdapat sejumlah 1.910 SPBU yang sudah dapat melakukan pembayaran menggunakan perangkat EDC dari program Link Aja.
(Baca: Lokasi SPBU Listrik di Berbagai Kota dan Tarif Isi Daya Mobil Listrik)
5. Belum mampu mencatat nomor kendaraan untuk pembelian BBM bersubsidi
Kepala BPH Migas M. Fansurullah Asa dan tim dari Telkom beberapa waktu lalu mengecek empat SPBU di Jakarta. Berdasarkan hasil pengecekan, transaksi pembelian BBM sudah terlihat langsung pada monitor server (komputer) SPBU, Status Automatic Tank Gauge (ATG) aktif, dan informasi ATG terkoneksi dengan server SPBU. Informasi status point of sales (transaksi) pun dapat ditampilkan dan berjalan dengan baik pada monitor server SPBU.
“Pencatatan nomor polisi kendaraan untuk pembelian solar subsidi baru bisa dicatat melaui mesin EDC, belum terkoneksi dengan monitor server SPBU,” kata Fanshurullah dalam keterangan tertulis BPH Migas, Sabtu (14/12/2019).
Dari 2.539 SPBU yang sudah didigitalisasi, kondisi stok dan profil penyaluran SPBU per transaksi sudah terlihat tetapi belum dapat mencatat nomor polisi kendaraan. Oleh karena itu, keluaran yang dihasilkan belum dapat dijadikan perangkat untuk pengawasan dan pengendalian BBM bersubsidi per pengguna kendaraan. Hal ini menjadi catatan agar Pertamina dapat melengkapi program digitalisasi nozzle.
BPH Migas berharap target digitalisasi nozzle SPBU Pertamina dapat segera terealisasi. Dengan demikian, BPH Migas dapat mengawasi penyaluran solar dan premium secara efektif melalui digitalisasi nozzle tersebut.
Reporter: Destya Galuh Ramadhani (Magang)