Jokowi: Setop Pemborosan Anggaran karena Tumpang Tindih Riset

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wapres Ma'ruf Amin (kanan) sebelum memimpin rapat kabinet terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/12/2019). Presiden ingin tumpang tindih agenda riset yang memboroskan anggaran dihentikan.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
11/12/2019, 19.13 WIB

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menilai tumpang tindih agenda riset yang kerap terjadi di Indonesia saat ini tak boleh dibiarkan. Pasalnya, hal tersebut merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran riset yang telah diberikan oleh pemerintah.

“Tumpang tindih agenda riset yang menyebabkan pemborosan anggaran harus segera kita akhiri,” kata Jokowi saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/12).

Untuk diketahui, dana riset dalam APBN 2019 dianggarkan sebesar Rp 35,7 triliun untuk 45 kementerian/lembaga. Sedangkan tahun depan anggaran riset, menurut perhitungan kasar Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN), diperkirakan sekitar Rp 30-an triliun.

Untuk menyelesaikan hal tersebut, Jokowi menilai pemerintah harus memprioritaskan agenda riset yang bisa membawa Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Apalagi Indonesia tengah berhadapan dengan perubahan dunia yang sangat cepat.

(Baca: Pemerintahan Jokowi Komitmen Tingkatkan Anggaran Riset )

Inovasi teknologi yang terjadi saat ini telah mendisrupsi berbagai lini kehidupan. “Artificial intelligent, internet of things, big data telah membuat teknologi lama menjadi cepat usang dan digantikan dengan inovasi teknologi baru,” kata Jokowi.

Kepala Negara mengatakan, agenda riset itu juga harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan terfokus. Hal tersebut pun harus didukung dengan anggaran yang terkonsolidasi dengan baik.

Selain itu, Jokowi menilai ekosistem untuk berkembangnya riset dan inovasi harus dibangun dan diperkuat. Hal itu dapat dimulai dari perbaikan regulasi, sumber daya manusia (SDM), kelembagaan, sistem insentif, hak cipta, hubungan dengan industri, serta anggaran riset dan inovasi.

“Konsentrasi kita bukan hanya pada upaya memperbesar anggaran riset saja, tapi bagaimana membuat anggaran riset menjadi efektif, memberikan hasil yang nyata, memberikan manfaat yang nyata,” ucapnya.

(Baca: Pengembangan Riset, Menanti Penguatan Peran Swasta)

Di sisi lain, alokasi dana riset di Indonesia tergolong minim jika dibandingkan dengan sejumlah negara. Pada 2018, pengeluaran dana riset hanya 0,3% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Bandingkan dengan Thailand yang sebesar 0,4% dari PDB, Malaysia 1,3%, Tiongkok 2%, Jepang 3,5%, dan Korea Selatan 4,3%.

Menurut Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sofian Effendi, dana riset saat ini masih sangat minim untuk meningkatkan kualitas penelitian. “Idealnya (alokasi dana riset) minimal 1 persen terhadap PDB,” ujar Sofian beberapa waktu yang lalu.

Selain anggaran yang minim, pengelolaan dana riset juga belum maksimal. Pasalnya, dana yang digunakan untuk kegiatan riset sendiri tidak lebih dari 50 persen. Sementara itu peran swasta dalam penelitian dan pengembangan juga masih kecil.

Berdasarkan data sumber belanja penelitian dan pengembangan 2016, porsi swasta hanya 4,33%. Berbanding jauh dengan pemerintah pusat yang mencapai 80,97%. Adapun pemerintah berupaya meningkatkan biaya penelitian dan pengembangan teknologi. Proyeksinya sebesar 1,5 - 2% dari PDB pada 2045.

(Baca: Anggaran Minim, Pengelolaan Dana Riset Belum Maksimal)

Reporter: Dimas Jarot Bayu