Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan mendapat kritik saat menghadiri rapat dengar pendapat bersama dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat. Beberapa kritik dan masukan yang dilontarkan dewan mulai dari antisipasi risiko pemutusan hubungan kerja atau PHK lantaran digitalisasi industri hingga penyesuaian besaran iuran.
Ketua komisi IX Felly Runtuwene mengatakan saat ini banyak industri ritel gulung tikar yang berujung PHK akibat kalah saing dengan marketplace. Dia meminta BPJS mengantisipasi skema jaring pengaman pekerja sejak sekarang agar tak menimbulkan konflik.
"Desain besarnya harus disempurnakan terutama bagi tenaga kerja yang akan kehilangan pekerjaan karena banyak yang bisa dikerjakan teknologi," kata Felly usai menggelar rapat dengar pendapat di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (18/11).
(Baca: Sri Mulyani Hitung Kembali Anggaran BPJS Setelah Terbitkan Tiga Aturan)
Sedangkan anggota Komisi IX dari Fraksi Gerindra Putih Sari menyoroti potensi BPJS Ketenagakerjaan tak mampu membayar jaminan hari tua pesertanya di tahun 2050. Ini lantaran besarnya iuran yang dianggap masih relatiif kecil.
Besaran iuran Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan saat ini hanya 3% dari upah pekerja. Sebesar 2% iuran ditanggung pemberi kerja, sedangkan 1% ditanggung pekerja. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto sebelumnya mengatakan jika tak ada perubahan besaran iuran, dikhawatirkan tahun 2050 mendatang defisit akan menggerogoti neraca keuangan BPJS Ketenagakerjaan.
"Ini (tidak bisa membayar jaminan) sudah diantisipasi apa belum? Karena akan menjadi gaduh bagi peserta," kata Putih saat diskusi.
(Baca: Jokowi Sebut Defisit BPJS Kesehatan Karena Salah Kelola)
Sedangkan Agus menyatakan akan mengkaji kemungkinan naiknya iuran jaminan pensiun sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015. Apalagi dia menganggap iuran pensiun di Indonesia relatif paling kecil.
"Iuran pensiun kita relatif kecil, bahkan yang kedua paling kecil kedua di dunia (dengan porsi iuran) 3%,” kata Agus.