Nasib Dewan Pengawas KPK di Tangan Jokowi

Ajeng Dinar Ulfiana|KATADATA
Presiden Joko Widodo (Jokowi) batal mengeluarkan Perppu revisi UU KPK dan akan segera memilih Dewan Pengawas KPK.
Penulis: Sorta Tobing
4/11/2019, 16.43 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih bersopan santun dalam bertata negara ketimbang mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Keputusannya itu membuat UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi tetap berlaku.

Menurut dia, saat ini lebih baik menunggu proses uji materi di Mahkamah Konstitusi. “Jangan ada orang yang masih berproses uji materi, kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat lalu (1/11).

Sejalan dengan berlakunya aturan tersebut, Jokowi sedang menyusun nama-nama Dewan Pengawas KPK. Fungsi dewan ini adalah mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin atau tidak soal penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan.

Kehadiran Dewan Pengawas KPK nantinya akan di bawah Presiden. Hal ini sesuai dengan Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G serta Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 69D.

Presiden akan memilih langsung, tanpa panitia seleksi. Sesuai pasal 69A menyebutkan, ketua dan anggota Dewan Pengawas untuk pertama kalinya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia.

(Baca: Menteri Yasonna Serahkan Tindak Lanjut Perppu KPK kepada Mahfud )

"Untuk pertama kalinya, tidak lewat pansel. Akan tetapi, percayalah yang terpilih nanti adalah beliau-beliau yang memiliki kredibilitas yang baik," ungkap Presiden.

Anggotanya berjumlah lima orang. Pelantikan Dewan Pengawas akan bersamaan dengan pengambilan sumpah pimpinan komisioner KPK yang baru pada Desember nanti.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai kinerja komisi antirasuah akan dikuasai oleh Jokowi dan partai pendukungnya. Pasalnya, pimpinan KPK telah ditunjuk pansel yang merupakan bentukan Presiden. Lalu, Dewan Pengawas pun ditunjuk langsung olehnya.

Keberadaan dewan itu, menurut dia, sangat politis dan tidak relevan dengan namanya. Dalam UU baru tersebut, KPK harus mengantongi izin penyadapan secara tertulis dari Dewan Pengawas. Keputusan untuk memberikan atau tidak memberikan izin akan berlangsung dalam satu kali 24 jam sejak permohonan diterima.

Setelah mendapatkan izin, KPK baru dapat melakukan penyadapan maksimal selama enam bulan dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu yang sama. Hasil penyadapan harus dipertanggungjawabkan kepada pimpinan KPK dan Dewan Pengawas paling lambat 14 hari setelah penyadapan.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana pun menilai, pihak Istana tidak memahami konsep lembaga anti korupsi yang baik dengan berlakunya UU KPK hasil revisi. Sebab, KPK tidak membutuhkan Dewan Pengawas seperti yang disebutkan dalam aturan tersebut.

"Sudah ada Deputi Pengawas dari internal, sedangkan eksternal sudah ada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan DPR. Sementara, pengawas di bidang maladminstriasi sudah ada pengawas dari Ombudsman," ujar dia.

(Baca: Revisi UU KPK Berlaku, YLBHI: Sinyal Kembalinya Orde Baru)

Gugatan Revisi UU KPK ke MK

Sebanyak 25 advokat dan mahasiswa pascasarjana Universitas Islam As Syafi'iyah telah mengajukan uji materil dan formil atas revisi UU KPK ke MK. Menurut para penggugat, ada kerugian konstitusional yang dialami atas aturan baru itu.

Pasalnya, dari sisi formil, penerbitan undang-undang ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahkan cenderung melanggar prosedur. Penyebabnya, UU itu disahkan tidak melalui rapat paripurna yang kuorum oleh DPR.

Padahal menurut aturannya, sebuah undang-undang bisa disahkan jika anggota DPR yang hadir lebih dari separuh. Dalam rapat paripurna 17 September 2019, anggota DPR yang hadir hanya 102 dari 560 orang. Karena itu, UU tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Dari sisi materil, pemohon mempermasalahkan Pasal 21 ayat (1) huruf a yang mengatur tentang Dewan Pengawas. Pemohon menilai, adanya dewan itu justru berpotensi menyebabkan KPK menjadi tidak independen.

(Baca: Kaget Sofyan Basir Divonis Bebas, KPK Pertimbangkan Banding)

Pada saat menyelenggarakan sidang pada 14 Oktober lalu, majelis hakim konstitusi mempertanyakan keseriusan pemohon dalam mengajukan uji materil dan formil revisi UU KPK. Dari 25 pemohon yang namanya tercantum dalam berkas permohonan, hanya delapan orang yang hadir dalam sidang perdana.

Majelis hakim juga mempersoalkan banyaknya pemohon yang tak membubuhkan tanda tangan dalam berkas permohonan sehingga dapat disimpulkan bahwa pemohon belum membaca atau menyetujui berkas permohonan yang dilayangkan ke MK.

Reporter: Antara