Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganggap lumrah pertemuan antara Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan pimpinan elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Rabu (30/10). Jokowi juga menyatakan agar pertemuan tersebut tidak diartikan bahwa koalisi pemerintah tengah rapuh.
Jokowi menyatakan tak ada kaitan antara pertemuan Surya dan elite PKS dengan hubungan dalam koalisi pemerintah. "Biasa saja lah, enggak usah terlalu dibawa ke perasaan," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11).
Jokowi menyatakan pertemuan antarelite partai politik merupakan sesuatu yang lumrah. "Partai ketemu partai kan biasa. Tokoh politik ketemu tokoh politik ya biasa. Biasa sekali lho ini. Enggak ada masalah," kata Jokowi.
(Baca: Usai Bertemu PKS, Nasdem Pastikan Tetap Berada di Koalisi Pemerintah)
Menurut Jokowi, bisa saja pertemuan tersebut terjadi karena Surya memang sudah lama tak berdialog dengan para elite PKS. Sebab, NasDem selama ini menjadi bagian dari pendukung pemerintah, dan PKS di luar pemerintah.
"Mungkin dengan saya, (Surya) sudah enggak begitu kangen, karena sering ketemu," kata Jokowi.
Surya Paloh mengunjungi kantor PKS di Jalan TB Simatupang, Jakarta, Rabu (30/10). Dalam pertemuan dengan pimpinan elit PKS, Surya menyebut pentingnya kelompok penyeimbang yang menjalankan peran "checks and balances" sebagai pengkritik pemerintah agar demokrasi berjalan dengan baik.
Surya menyebut tidak mempermasalahkan jika suatu saat nanti Partai NasDem berada di luar pemerintahan. “Bukan masalah ada kemungkinan akan berhadapan dengan pemerintah atau tidak. Seluruh kemungkinan kan ada saja," kata Surya seperti dikutip Antara.
(Baca: Surya Paloh Bertemu PKS, Perlawanan dari Dominasi Megawati?)
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam berpendapat pertemuan Surya Paloh dengan petinggi PKS merupakan simbol perlawanan terhadap dominasi politik Megawati Soekarnoputri dalam skema koalisi Kabinet Indonesia Maju. Sejak awal, NasDem menolak masuknya Gerindra ke dalam kaninet Jokowi.
Masuknya Gerindra ke koalisi Indonesia Maju ditengarai setelah Megawati melobi Prabowo Subianto dalam ajang rebutan pimpinan MPR. Ketika itu Gerindra mengajukan kadernya Ahmad Muzani untuk menjabat sebagai Ketua MPR.
Setelah dilobi Megawati, Gerindra mengalah dan merelakan kursi Ketua MPR kepada Bambang Soesatyo. Sebagai gantinya, Gerindra bisa masuk ke koalisi pemerintah dan mendapatkan dua kursi menteri.
(Baca: Kunjungi PKS, Surya Paloh Sebut Tak Masalah Bila NasDem Jadi Oposisi)
"Megawati telah memaksakan egopolitiknya untuk memberi karpet merah bagi masuknya Prabowo," kata Ahmad Khoirul Umam di Jakarta, Kamis (31/10) dikutip dari Antara.
Sementara itu, pengajar di FISIP UGM Nyarwi Ahmad menilai masuknya Gerindra ke kabinet Jokowi-Ma'ruf memang mempersempit ruang NasDem di pemerintahan. Sehingga untuk menjaga agar eksistensinya tetap menguat, NasDem mengembangkan retorika pentingnya blok oposisi di luar pemerintah sebagai upaya menjaga demokrasi.
"NasDem sepertinya mengembangkan langkah kuda, menjalin konsolidasi dengan parpol-parpol di luar blok pendukung pemerintah," kata Nyarwi dalam pesan tertulis, Kamis (31/10).
(Baca: Politisinya Jadi Calon Menteri, NasDem Tegaskan Bukan Oposisi)