Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi Demokrat Syarief Hasan menilai rencana amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 masih terlalu cepat. Menurut Syarief, belum saatnya MPR membahas perubahan UUD 1945.
Syarief juga menilai perlu pembahasan dan pengkajian lebih mendalam terkait amendemen konstitusi tertinggi itu. Dia pun meminta masukan dari seluruh elemen masyarakat terkait rencana tersebut.
“Masih terlalu dini bahas soal amendemen,” kata Syarief di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/10).
(Baca: Wacana Amendemen UUD 1945 Ditentang)
Selain itu, ia menyarankan MPR meminta pandangan dari para akademisi dan pemangku kepentingan lainnya. “Ini kan menyangkut UUD 1945, kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa,” ucap Syarief.
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta masyarakat untuk tetap membuka diri terhadap rencana amendemen UUD 1945. Menurut Bamsoet, perubahan terhadap aturan tertinggi RI ini bukanlah hal tabu.
Bamsoet juga menilai amendemen UUD 1945 perlu dilakukan setelah terakhir pada tahun 2002. “Apakah amendemen yang terakhir sampai sekarang sudah memberikan ruang dan kesejahteraan.” kata Bamsoet.
Rencana amendemen terbatas UUD 1945 merupakan hasil rekomendasi dari MPR periode 2014-2019. Salah satu usulan amendemen tersebut adalah menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dengan amendemen tersebut, MPR berpotensi memiliki wewenang menentukan GBHN yang harus dijalankan Kepala Negara. Beberapa pihak mengkhawatirkan kondisi ini akan mengembalikan MPR sebagai lembaga negara laiknya Orde Baru.
(Baca: Ketua MPR Sebut UUD 1945 Perlu Diamandemen)
Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi menilai isu amendemen akan memunculkan masalah baru. Apalagi saat Presiden saat ini dipilih secara langsung oleh rakyat.
"Secara ketatanegaraan enggak mungkin itu dilakukan," kata Veri.