Kepala Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris menilai tidak ada alasan untuk menunda penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu KPK. Ia membeberkan sederet alasan dari mulai revisi UU KPK yang cacat prosedural dan substansi, korupsi yang mengganggu iklim investasi, hingga risiko berlanjutnya demonstrasi.
Syamsudin menilai revisi UU KPK cacat prosedural. "Apa cacat proseduralnya revisi UU itu dibuat dengan suasana tertutup tergesa-gesa tanpa partisipasi publik dan KPK sebagai stakeholder utama yang diatur di UU. Itu kan aneh," kata dia saat Konferensi Pers Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang hasil survei opini publik terkait revisi UU KPK, di Jakarta, Minggu (6/10).
Revisi UU KPK juga disebut cacat substansi. Sebab, isinya bertentangan dengan visi Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Maka itu, dibutuhkan Perppu agar sesuai dengan visi awal. Ia pun mengutip hasil survei LSI yang menyatakan bahwa mayoritas reponden menilai revisi UU KPK melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
"Dari survei telah disebutkan untuk melemahkan KPK. Jadi wajar presiden yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi, wajib menerbitkan Perppu," ujarnya.
(Baca: Hasil Survei LSI: 73,6% Responden Setuju Presiden Terbitkan Perppu KPK)
Ia menambahkan, pelemahan pada KPK akan berdampak pada tumbuh suburnya korupsi. Kondisi ini berisiko membuat turunnya minat investasi di dalam negeri. "Itu jelas dan pengalaman negara lain demikian," ujarnya.
Selain itu, ia mengingatkan risiko demonstrasi berkepanjangan bila desakan publik terkait Perppu KPK tidak dijalankan. "Kalau parlemen jalanan makin kencang itu akan menggangu perekonomian dan itu harus dihitung oleh pak Jokowi," kata dia.
Dibiarkannya UU KPK hasil revisi berlaku juga dinilainya menunjukkan demokrasi di Indonesia sudah diambil oleh kekuatan oligarki yang menolak kekayaannya diusut oleh lembaga antirasuah. Maka itu, menurut dia, tak ada alasan untuk menunda penerbitan Perppu KPK.
Ia mengusulkan Perppu diterbitkan sesudah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, dan sebelum pembentukan kabinet. Ia menilai Presiden tak perlu khawatir dengan ancaman pemakzulan. "Yang melakukan penilaian itu konstitusi bukan DPR. Sehingga konyol penerbitan Perppu dihubungkan dengan impeachment," kata dia.