Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menilai, pihak-pihak yang mengkritik Rancangan Undang-Undang atau RUU Pertanahan tak paham mengenai isi aturan tersebut. Sebab, menurutnya hal-hal yang dipersoalkan tidak tepat.
“Sebenarnya yang kritik itu umumnya karena tidak mengerti masalahnya,” kata Sofyan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (25/9).
Sofyan mencontohkan, kritik bahwa RUU Pertanahan akan memunculkan konsep domein verklaring. Domein verklaring merupakan konsep yang menyatakan bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikkan legalitasnya, secara otomatis akan menjadi milik negara.
Meski tidak secara eksplisit, konsep domein verklaring dianggap muncul di Pasal 37 draf RUU Pertanahan per 9 September 2019. Dalam pasal tersebut dijelaskan mengenai kewajiban permohonan perpanjangan lima tahun sebelum hak atas tanah berakhir.
(Baca: RUU Pertanahan yang Penuh Pasal-Pasal Kontroversial)
Jika waktu perpanjangan hak atas tanah berakhir, statusnya kembali menjadi dikuasai langsung oleh negara. Pengaturan, penggunaan dan pemanfaatan tanah selanjutnya menjadi kewenangan menteri.
Sofyan berdalih isi pasal tersebut tak seperti konsep domein verklaring. Lagipula, dia menilai konsep tersebut tak mungkin dipakai lagi karena peninggalan zaman kolonial.
“Itu yang disalahartikan atau sengaja mislead untuk menolak UU ini,” kata Sofyan. Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci perihal maksud dari pasal 37 tersebut.
Kritik lainnya terkait dengan munculnya poin Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dalam RUU Pertanahan. Poin mengenai HPL termaktub dalam Pasal 42-45.
Poin HPL ini baru muncul dalam RUU Pertanahan. Hal ini tidak diatur di regulasi sebelumnya, yakni UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Poin HPL dikritik karena berkaitan dengan hak menguasai negara atau domein verklaring. Selain itu, ketentuan HPL dalam RUU Pertanahan dianggap berbahaya karena kewenangannya begitu kuat.
(Baca: Lima Poin Kontroversial dalam RUU Pertanahan yang Akan Disahkan DPR)
Sofyan menilai, kritik mengenai HPL tak tepat karena pelaksanaannya sudah mulai sejak 1960-an. Pemberian HPL sudah dilakukan ke berbagai wilayah, khususnya yang dipegang BUMN.
“Seluruh kawasan industri BUMN adalah HPL. Tidak ada hal yang baru,” kata Sofyan.
Lebih lanjut, dia menilai berbagai pihak salah dalam mengartikan pasal-pasal yang mengatur ketentuan pidana dalam RUU Pertanahan. Salah satunya terkait adanya ancaman pidana bagi setiap orang yang menggunakan dan memanfaatkan tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.
Sofyan mengatakan, poin tersebut bukan ditujukan kepada masyarakat. Ketentuan pidana itu, lanjut Sofyan, menyasar para mafia tanah yang ada di Indonesia.
“(Misal) Organisasi itu mengambil tanah orang, tanah-tanah kosong. Itu nanti kami atur,” kata Sofyan.
Agar kesalahpahaman tidak terjadi, Sofyan berjanji akan mengundang berbagai pihak terkait untuk membahas RUU Pertanahan. Lagipula, menurutnya masih ada waktu untuk berdiskusi seputar RUU Pertanahan karena tak akan disahkan di periode ini.
RUU Pertanahan akan dialihkan pembahasannya kepada DPR periode 2019-2024. “Nanti ini akan di-carry over,” kata Sofyan.
Sebelumnya, RUU Pertanahan dikritik oleh berbagai pihak, salah satunya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). KPA menilai RUU Pertanahan bukanlah rancangan aturan yang sesuai dengan agenda reforma agraria.
Justru RUU Pertanahan dianggap tidak berpihak kepada rakyat, petani, juga masyarakat adat. "RUU Pertanahan mengatur cara negara mengamputasi hak konstitusi agraria petani dan dan setiap warga negara Indonesia," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika di Jakarta, akhir pekan lalu (22/9).
(Baca: Picu Konflik, Ombudsman dan KPA Minta DPR Batalkan RUU Pertanahan)