Rancangan KUHP yang Akan Disahkan DPR Bertabur Pasal Kontroversial

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Sejumlah demonstran melakukan aksi demo di depan gedung DPR MPR RI, Jakarta Pusat (16/9). Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah keukeuh memasukkan pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Penulis: Safrezi Fitra
20/9/2019, 06.00 WIB

Setelah 50 tahun menggunakan aturan pidana warisan Belanda, kini Indonesia akan segera memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah sepakat rancangan KUHP disahkan dalam Sidang Paripurna pekan depan.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pemerintah dan DPR sudah membahas draf RKUHP dalam empat tahun terakhir. "Sudah diselesaikan dalam pembicaraan tingkat 1. Mudah-mudahan rencananya mau dibawa ke Paripurna tanggal 24 September 2019," ujarnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/9).

(Baca: DPR dan Pemerintah Siap Sahkan Rancangan KUHP meski Banyak Penentangan)

Meski sudah hampir disahkan, masih banyak pasal yang menjadi perdebatan dan menuai kritik dari banyak elemen masyarakat. Beberapa pasal dalam RKUHP dinilai berpotensi mengancam kebebasan sipil, melanggar ranah privat warga negara dan tidak berpihak pada kelompok minoritas.

Berikut beberapa poin kontroversial yang menjadi kritikan publik dalam RKUHP:

Tindak Pidana Korupsi

Hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) dalam RKUHP lebih ringan menjadi hanya dua tahun. Padahal dalam KUHP lama, hukuman pidana bagi koruptor  paling sedikit empat tahun penjara. Anggota Panja RKUHP Nasir Djamil mengatakan fokus penegakan hukum dalam RKUHP adalah untuk mengembalikan uang negara. Jadi, tak perlu memperberat hukuman kepada pelaku korupsi.

Selain itu, pasal tipikor dalam RKUHP tidak menerapkan adanya pidana tambahan berupa uang pengganti. Ada beberapa pasal yang mengatur masalah tipikor dalam RKUHP, yakni pasal 604, 605, dan 607.

Membungkam Kebebasan Berekspresi dan Pers

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat ada 10 poin dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi den kebebasan pers. 10 poin tersebut adalah:

Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, pasal 241 soal penghinaan terhadap pemerintah, pasal 247 terkait hasutan melawan penguasa, pasal 262 yang mengatur penyiaran berita bohong, dan pasal 263 terkait berita tidak pasti.

(Baca: MK Sebut Pasal Penghinaan Presiden Seharusnya Tak Diatur di RUU KUHP)

Kemudian pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, pasal 440 soal pencemaran nama baik, dan pasal 444 mengatur pencemaran orang yang sudah meninggal.

Hukuman Mati

Pasal 67, pasal 99, pasal 100, dan pasal 101 masih mengatur hukuman mati. Padahal sejumlah kelompok masyarakat menilai hukuman mati melanggar hak hidup manusia.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pasal hukuman mati harus dihapuskan karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Bahkan, dua pertiga negara di dunia juga telah menghapuskan hukuman mati.

(Baca: Rentan Jadi Alat Kriminalisasi, RUU KUHP Disebut Libatkan Masyarakat)

Penistaan Agama

Penodaan agama diatur dalam pasal 313. Setiap orang yang menyiarkan, menunjukkan, menempelkan tulisan, gambar, atau rekaman, serta menyebarluaskannya melalui kanal elektronik dapat dipidana penjara lima tahun.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak pasal ini, karena tidak ada kejelasan penilaian apakah suatu perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan agama. Mereka tak ingin ada warga negara yang dipidana hanya karena tafsir subjektif yang dipaksakan segelintir orang atau oleh mayoritas terhadap minoritas.

Larangan Aborsi atau Menggugurkan Kandungan

Larangan aborsi diatur dalam Pasal 251, 470, 471, dan 472 RKUHP. Pemberi atau peminta obat penggugur kandungan, orang yang menunjukkan alat menggugurkan kandungan, orang yang mengugurkan kandungan dan orang membantunya dapat dijerat pidana dengan pasal ini.

ICJR menilai aturan ini bisa menimbulkan kriminalisasi terhadap korban perkosaan. Dalam pasal tersebut, dokter yang menggugurkan kandungan korban perkosaan tidak dipidana, melainkan  korban perkosaan itu sendiri yang bisa dijerat.

(Baca: Jokowi Digugat ke Pengadilan soal Terjemahan KUHP)

Hubungan Seks di Luar Nikah

Laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau melakukan hubungan seks di luar nikah (zina) dijerat dengan pasal 417 dan 419. Orang yang berzina bukan dengan pasangan sah menikah dipidana penjara satu tahun. Bagi pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau kohabitasi dipidana enam bulan.

Kelompok masyarakat sipil menilai aturan ini tidak perlu, karena sudah masuk ke ruang privasi.

Hukuman Denda Bagi Gelandangan

RKUHP melarang keberadaan gelandangan, perempuan yang bekerja dan pulang malam, pengamen, tukang parkir, orang dengan disabilitas psikososial yang ditelantarkan keluarga, serta anak jalanan. Mereka dianggap mengganggu ketertiban umum. Pasal 432 mengancamnya dengan denda Rp1 juta. Dalam KUHP yang sekarang, kaum gelandangan dipidana kurungan tiga bulan.

(Baca: Ratusan Mahasiswa Berbagai PT Demonstrasi di DPR, Tolak UU KPK & RKUHP)