Profil 5 Pimpinan Komisioner KPK Baru Hasil Pilihan DPR

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Anggota komisi III DPR melakukan voting saat proses pemilihan calon Pimpinan KPK di Komisi III, komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (13/09/2019)
Penulis: Yuliawati
13/9/2019, 10.04 WIB

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati lima komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023. Berdasarkan hasil voting, Inspektur Jenderal Polisi Firli Bahuri terpilih sebagai Ketua KPK dengan jumlah 56 suara.

Selain Firli, ada pula nama Wakil Ketua KPK 2015-2019 Alexander Marwata yang terpilih kembali sebagai komisioner dengan suara 53 atau kedua terbanyak.

Sedangkan tiga nama lainnya yang menjadi pimpinan KPK adalah Nurul Ghufron dengan 51 suara, Nawawi Pamolango yang mendapat 50 suara, dan Lili Pintauli Siregar yang memperoleh 44 suara anggota dewan.

Berikut profil singkat lima pimpinan KPK tersebut:

1. Firli Bahuri

Firli Bahuri baru saja dilantik sebagai Kapolda Sumatera Selatan pada 25 Juni 2019. Pria kelahiran Prabumulih, 8 November 1963 itu sebelumnya pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan di KPK pada 2018.

Firli lulus dari Akademi Kepolisian pada 1990. Ia juga menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian pada 1997. Firli dipercaya menjadi Kapolres Persiapan, Lampung Timur pada 2001.

Kariernya semakin menanjak setelah ia ditarik ke Polda Metro Jaya menjadi Kasat III Ditreskrimum pada 2005-2006. Kemudian ia menjadi Kapolres Kebumen dan Kapolres Brebes pada 2008 dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP).

(Baca: Firli Bahuri, Kapolda Sumsel dan Capim KPK yang Penuh Kontroversi)

Pada 2009, ia ditarik kembali ke ibu kota sebagai Wakapolres Metro Jakarta Pusat. Setahun kemudian, ia dipercaya menjadi Asisten Sekretaris Pribadi (Sespri) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selesai dari tugasnya di istana, Firli menjabat Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng pada 2011.

Namun, pada 2012 ia kembali bertugas di istana sebagai ajudan Wakil Presiden Boediono. Pada 2014, ia dipercaya menjadi Wakapolda Banten dengan pangkat Komisaris Besar. Firli kembali dipromosikan menjadi Brigjen Polisi pada saat menjabat sebagai Kepala Biro Pengendalian Operasi Staf Operasi Polri pada 2016.

Tak lama kemudian ia menjadi Wakapolda Jawa Tengah. Pada 2017, ia menjabat sebagai Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) menggantikan Brigjen Pol Umar Septono. Selanjutnya, karier Firli berlanjut ke KPK sebagai Deputi Penindakan pada 6 April 2018.

Firli Bahuri saat menjalani uji kelayakan dan kepatuhan KPK 2019 (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)




Namun, kurang dari 1,5 tahun kemudian Firli ditarik kembali ke institusi asalnya pada 20 Juni 2019. Penarikan dilakukan setelah Firli sempat menjalani pemerikasaan di pengawasan internal KPK. Hanya berselang 5 hari setelah kembali ke Polri, Firli dipromosikan menjadi Kapolda Sumatera Selatan.

Saat proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR, KPK menyatakan Firli Bahuri, diduga melakukan pelanggaran kode etik berat. Dugaan pelanggaran berdasarkan hasil pemeriksaan direktorat pengawas internal KPK terkait pertemuan Firli dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang yang tersangkut kasus dugaan korupsi di KPK.

Bukan hanya dengan TGB saja, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan Firli diduga kerap bertemu dengan nama lainnya yang sedang terlibat dalam kasus yang diusut KPK.

Firli membantah dugaan mengadakan pertemuan khusus. Dia mengaku bertemu TGB saat bermain tenis saat berkunjung ke NTB.

(Baca: Sebelum Jadi Ketua KPK, Firli Jelaskan Dugaan Pelanggaran Etik ke DPR)

2. Alexander Marwata

Pria berusia 52 tahun ini menjadi satu-satunya petahana yang lolos kembali sebagai pimpinan KPK. Alexander Marwata memiliki latar belakang pendidikan sebagai auditor. Ia adalah lulusan program Diploma IV Akuntansi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

Marwata memulai kariernya sebagai auditor di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sejak 1987 hingga 2011. Setelah 8 tahun bekerja di BPKP, ia tertarik melanjutkan pendidikannya di bidang hukum. Ia pun mengambil S1 di jurusan Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI).

Marwata tetap bekerja di BPKP sembari kuliah. Setelah puluhan tahun berkarier di BPKP, dengan gelar sarjana hukumnya Marwata kemudian bertransformasi menjadi seorang hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia menjadi hakim ad hoc untuk tindak pidana korupsi pada 2012. Barulah pada 2015, Alexander terpilih sebagai satu dari lima pimpinan KPK untuk periode 2015-2019.

(Baca: Alexander Marwata, Petahana yang Lolos Seleksi Capim KPK)

3. Nawawi Pamolango.

Hakim Utama Muda di Pengadilan Tinggi Denpasar ini cukup akrab dengan perkara korupsi. Selama menjalankan tugasnya, ia beberapa kali menjatuhkan hukuman bagi koruptor kelas kakap di Indonesia.
Nawawi menjadi ketua majelis hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta saat memutuskan kasus korupsi suap impor daging sapi pada 2013 yang melibatkan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nawawi menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara kepada Ahmad Fathanah, pengusaha asal Makassar yang menjadi perantara dalam kasus suap ini.

(Baca: Nawawi Pamolango, Capim KPK yang Pernah Adili Patrialis Akbar)

Nawawi juga menjadi ketua majelis hakim yang menjatuhkan vonis 8 tahun penjara bagi mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar pada 2017. Patrialis dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Pindah Tugas dari Halmahera hingga ke Denpasar Karier Nawawi sebagai hakim dimulai pada 1992. Ia menjadi hakim Pengadilan Negeri (PN) Soasio Tidore, Kabupaten Halmahera Tengah. Empat tahun kemudian ia dipindahtugaskan ke PN Tondano, Sulawesi Utara. Ia dipindahkan ke PN Balikpapan pada 2001 kemudian ke PN Makassar pada 2005.

(Baca: Capim Nawawi Pomolango Ingin KPK Punya Kewenangan SP3 )

Kemudian pada 2008-2011, Nawawi bertugas di PN Poso. Pada awalnya ia menjabat sebagai wakil ketua PN Poso kemudian sejak 2010 dipromosikan menjadi ketua PN Poso. Selesai tugas di Poso, Nawawi dipindahkan ke PN Jakarta Pusat dengan spesialisasi penindakan kasus korupsi. Masa tugas Nawawi di PN Jakarta Pusat tidak bertahan lama.

Ia dipindahtugaskan menjadi wakil ketua PN Bandung kemudian menjadi ketua PN Samarinda pada 2015. Setahun berselang, ia kembali lagi ditugaskan di wilayah Jakarta sebagai ketua PN Jakarta Timur pada 2016 dan merangkap sebagai hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta. Barulah pada akhir tahun 2017 ia ditugaskan ke Bali untuk menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar.

Dalam tes wawancara dan uji publik, Nawawi menyoroti koordinasi KPK dengan aparat penegak hukum lainnya yang dinilai lemah. Contohnya pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) dugaan suap di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

KPK menangkap dua orang jaksa namun akhirnya dikembalikan lagi ke Kejaksaan Agung. "Sudah ditangkap, baru dikembalikan. Bukan koordinasi seperti itu, sebelum ditangkap harusnya dikoordinasikan. Kalau sudah tertangkap, ya sudah bagian (KPK)," kata Nawawi, di Gedung Sekretariat Negara Jakarta, Kamis (28/8).

Nawawi menilai KPK memiliki fungsi trigger mechanism. Fungsi tersebut dapat mendorong lembaga penegak hukum lainnya bergerak efektif dan efisien. Ia juga pernah mengungkapkan bahwa unsur pimpinan KPK harus memiliki wakil dari Kepolisian dan Kejaksaan.

Halaman: