Minta Lindungan Jokowi, Ketua KPK: Jangan Biarkan Anak Reformasi Mati

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Ketua KPK Agus Rahardjo meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
6/9/2019, 19.56 WIB

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo kembali meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Agus meyakini jika Jokowi tidak akan membiarkan adanya pelemahan komisi antirasuah lewat revisi UU KPK.

Jokowi dalam berbagai kesempatan kerap kali menegaskan komitmennya untuk tidak melemahkan KPK. Komitmen tersebut yang diharapkan Agus dapat membuat Jokowi menolak revisi UU KPK yang tengah bergulir di DPR.

“Kami percaya Presiden Joko Widodo tidak akan membiarkan anak reformasi ini tersungkur, lumpuh dan mati,” kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/9).

(Baca: Mahfud MD Sebut Jokowi Punya Kewenangan Menolak Revisi UU KPK)

Agus mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat kepada Jokowi. Tujuannya agar Jokowi memiliki pertimbangan yang matang untuk menolak RUU KPK.

Menurutnya, peran Presiden sangat penting dalam penolakan RUU KPK. “Jika Presiden tidak bersedia menyetujui maka RUU tersebut tidak akan pernah jadi UU. Jika Presiden ingin KPK kuat, maka KPK akan kuat,” ucapnya.

Lebih lanjut, Agus menilai pelemahan KPK merupakan bentuk pengkhinatan terhadap semangat reformasi. Sebab, agenda reformasi salah satunya mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Amanat itu kemudian muncul melalui kehadiran dua TAP MPR, yakni Tap MPR No. XI/MPR/1998 TAHUN 1998 dan Tap MPR No. VIII/MPR/2001. Amanat reformasi  untuk pemberantasan korupsi pun hadir melalui UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

“Reformasi menghendaki pemberantasan korupsi yang kuat dan kemudian KPK dibentuk,” katanya. 

(Baca: Pengamat: Kepercayaan Publik Turun Jika Jokowi Setujui Revisi UU KPK)

Presiden memiliki kewenangan menolak pembahasan UU yang berjalan di DPR. Pakar hukum tata negara sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008 - 2013, Mahfud MD menyatakan Presiden Jokowi memiliki kewenangan untuk menolak revisi UUU, sesuai pasal 20 UUD 1945.

"Sebaiknya Presiden membentuk Tim Kajian dan DIM Pendahuluan sebelum membuat Surat Presiden pembahasan ke DPR. Ikuti sesuai prosedur normal saja, tak ada hal luar biasa," kata Mahfud dalam cuitan di Twitter, Jumat (6/9).

Pada Pasal 20 UUD 1945, diatur mekanisme pembahasan UU sebagai berikut. (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. (3) Jika RUU itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

(Baca: Fahri Hamzah Sebut Jokowi Setuju Revisi UU KPK)

DPR pada Kamis (5/9) kemarin bersepakat merevisi UU KPK. Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Utut Adianto, para anggota dewan serentak menyetujui jika RUU KPK menjadi usulan parlemen. Tak ada penolakan dari seluruh anggota dewan yang hadir.

Dalam RUU KPK kali ini, ada enam poin revisi yang substansial. Pertama, terkait dengan kedudukan KPK nantinya berada pada cabang kekuasaan eksekutif pemerintahan yang tugas dan kewenangannya bersifat independen. Adapun, pegawai KPK nantinya berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang tundang pada peraturan perundang-undangan terkait.

Kedua, KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyadapan namun baru bisa dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas. Ketiga, KPK harus bersinergi dengan penegak hukum lainnya sesuai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

Keempat, tugas KPK dalam pencegahan akan ditingkatkan. Alhasil, setiap instansi, kementerian, dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebelum dan sesudah masa jabatan.

Kelima, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas yang berjumlah lima orang. Dewan Pengawas KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya nantinya dibantu oleh organ pelaksana pengawas.

Keenam, KPK nantinya berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik.