Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta manajemen PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) memastikan operasional perusahaan tetap berjalan dengan baik. Ini dilakukan seiring dengan penetapan dua direksi PTPN III sebagai tersangka kasus dugaan suap distribusi gula oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro mengatakan pihaknya menghormati proses hukum yang sedang dihadapi PTPN III di KPK.
Dalam pelaksanaannya, Kementerian BUMN meminta agar semua kegiatan terus berpedoman pada tata kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) dan mendukung pemberian informasi yang benar sebagai wujud menghormati hukum.
Selain itu, dia juga meminta PTPN tetap beroperasi dan memberikan pelayanan yang optimal. "Terutama kepada masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air," katanya dalam keterangan resmi, Rabu (4/9).
(Baca: KPK Tetapkan Dua Direksi BUMN Tersangka Kasus Suap Distribusi Gula)
Wahyu menuturkan, Kementerian BUMN menghormati dan menjunjung asas praduga tak bersalah, termasuk mengenai Proses penon-aktifan direksi perusahaan perkebunan negara ini akan segera dikonsultasikan bersama Biro Hukum Kementerian BUMN.
"Kementerian BUMN bersama PTPN III siap bekerjasama dengan KPK dalam menangani kasus ini," ujarnya.
Dua direksi PTPN III sebelumnya ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap distribusi gula di antaranya yaitu Direktur Utama Dolly Pulungan dan Direktur Pemasaran I Kadek Kertha Laksana.
Selain kedua direksi PTPN III, KPK juga menetapkan pemilik PT Fajar Mulia Transindo (FMT) Pieko Nyotosetiadi sebagai tersangka dalam kasus ini.
Kronologi Kasus
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengungkapkan dugaan suap distribusi gula bermula ketika lembaganya mendapat informasi tentang permintaan uang dari Dolly terhadap Pieko perihal distribusi gula.
Atas permintaan itu, Pieko meminta pengelola usaha penukaran uang (money changer), Freddy Tandou untuk mencairkan sejumlah uang untuk diberikan kepada Dolly.
Pieko juga mengintruksikan orang kepercayaanya bernama Ramlin untuk mengambil dan menyerahkan uang tersebut kepada Corry Luca di kantor PTPN III. Corry merupakan pegawai PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN).
"CLU (Corry Luca) kemudian mengantarkan uang Sin$ 345 ribu ke IKL (I Kadek Kertha Laksana) di kantor PT KPBN," kata Laode saat konfrensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (3/9).
(Baca: Kembali Gelar OTT, KPK Tangkap Bupati Bengkayang)
Kemudian, tim dari KPK mulai bergerak untuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) guna mengamankan Corry, Ramlin, I Kadek, serta Direktur PT KPBN Edward S Ginting pada Senin (2/9) malam. Esoknya, KPK mulai menciduk Freddy Tandou.
Laode menjelaskan, kasus itu bermula saat PT Fajar Mulia Transindo ditunjuk oleh PTPN III untuk mendistribusikan gula. Skema kerja samanya long term contract. Dalam perjanjian tersebut, semua pihak swasta mendapat jatah rutin setiap bulan untuk mendistribusikan gula.
"Di PTPN III terdapat aturan internal mengenai kajian penetapan harga gula bulanan. Harga gula disepakati oleh tiga komponen yaitu PTPN III, pengusaha gula PNO (Pieko Nyoto Setiadi), dan ASB selaku Ketua Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI)," kata dia.
KPK menduga, Pieko, Dolly dan Ketua APTRI berinisial ASB melangsungkan pertemuan di Hotel Shangrila pada 31 Agustus 2019. Saat itu, Dolly meminta uang kepada Pieko guna menyelesaikan masalah pribadinya.
"Uang Sin$ 345 ribu diduga merupakan fee distribusi gula yang termasuk ruang lingkup pekerjaan PTPN III (Persero), yang mana DPU (Dolly) merupakan Direktur Utama di BUMN tersebut," kata Laode.
Sebagai pihak yang diduga pemberi, Pieko dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan Dolly Pulungan dan I Kadek sebagai pihak penerima, disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Uu Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.