Serba Sulit Tangani Pengeboran Minyak Ilegal

ANTARA FOTO/Rahmad
Petugas pemadam kebakaran melakukan pendinginan area ledakan sumur minyak ilegal pasca api padam di Desa Pasir Putih, Rantau Pereulak, Aceh Timur, Aceh, Kamis (26/4). SKK Migas kesulitan menangani aktivitas pengeboran minyak ilegal yang kerap terjadi di wilayah Pertamina.
17/8/2019, 19.44 WIB

Aktivitas pengeboran minyak ilegal bukan hal baru bagi masyarakat yang tinggal di Provinsi Jambi. Aparat hukum pun kewalahan memberantas aktivitas ilegal tersebut.

Tiap tahun, aktivitas pengeboran minyak ilegal kerap menimbulkan celaka. Seperti yang terjadi pada Selasa (13/8), api tiba-tiba berkobar cukup besar di tengah kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Taha Syaifudin yang terletak di Desa Bungku dan Desa Pompa Air Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi.

Munculnya kobaran api bermula dari percikan api mesin pengeboran minyak tradisional. Dengan cepat api membakar hutan dan lahan di kawasan tersebut. Cuaca panas yang cukup ekstrem menambah kobaran api semakin besar hingga membakar dua hektar lebih kawasan Tahura. Sehari sebelumnya, kebakaran hutan dan lahan di kawasan Tahura terjadi di titik koordinat yang berbeda.

Kejadian Selasa lalu bukanlah pertama kalinya. Aktivitas penambangan minyak ilegal kerap terjadi dan menimbulkan ledakan. Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Fatar Yani Abdurrahman mengatakan, ledakan tersebut terjadi karena penambang tidak melakukan kegiatan eksploitasi migas dengan benar.

"Mereka secara tradisional itu, mereka menggali seperti menggali air. Ketika menggali ketemu hidrokarbon, ada minyak disitu, terus dia pakai model seperti timba untuk menarik minyak ke atas," ujar Fatar ke Katadata pada Sabtu (17/8).

(Baca: Pertamina EP Kesulitan Tangani Aktivitas Penambangan Minyak Ilegal)

Fatar yang baru melihat langsung aktivitas pengeboran minyak ilegal di Kecamatan Pajubang pun mengaku terkejut. Ternyata ada seribuan sumur ilegal di kawasan tersebut. Jumlahnya diproyeksi lebih besar dari jumlah penutupan sumur ilegal yang dilakukan aparat keamanan tahun lalu sebanyak 800 sumur.

"Tahun lalu 800-an sumur di plug and abandonment sama aparat keamanan. Tapi balik lagi karena dapat sampai 2000 barel menurut informasinya," katanya.

Lebih lanjut Fatar mengatakan, orang-orang yang melakukan pengeboran ilegal terlihat memiliki keahlian, hanya saja menggunakan alat-alat tradisional. Maka tidak heran jika mereka bisa memproduksi minyak cukup banyak. "Dari satu sumur bisa 10 barel per hari. Kalau ribuan sumur kan dapat ribuan barel juga, bisa sampai 2000-3000 barel juga, tapi saya tidak tahu dijualnya kemana," katanya.

Aktivitas pengeboran ilegal tersebut sejatinya berada di atas wilayah kerja Pertamina EP. Namun tidak ekonomis untuk diproduksikan oleh Pertamina karena jumlah cadangan yang sedikit.

"Tidak mungkin dia produksikan karena produksi kan paling tiga bulan habis, cadangannya tidak banyak. Kalau saya bangun sumur, cadangannya habis, jadi mahal, tidak ekonomis,"kata Fatar.

(Baca: Penambangan Minyak Ilegal Semakin Marak di Wilayah Sumsel)

Namun bukan berarti pengeboran minyak ilegal boleh dilakukan di wilayah tersebut. Sebab, aktivitas pengeboran tersebut tidak memiliki izin. Selain itu, negara dirugikan karena tidak mendapatkan bagi hasil dan pajak dari aktivitas hulu migas tersebut. Ditambah kegiatan pengeboran ilegal menyebabkan kerusakan lingkungan.

Pertamina pun sempat ingin membebaskan lahan di Kecamatan Bajubang tersebut. Namun harga yang ditawarkan kelewat tinggi. "Tapi kan harganya tidak masuk akal. Kami tidak tahu siapa yang ada di balik ini,"kata Fatar.

Makanya Fatar berharap ada tindakan hukum dari aparat penegak hukum. Apalagi aktivitas pengeboran ilegal dilakukan secara terbuka dan masif. "Sebenarnya paling gampang datang saja penegak hukum. Cuma kalau kami represif diganggunya operasi Pertamina. Jadi kami mesti lakukan pendekatan persuasif,"ujar Fatar.

Rencananya SKK migas akan bekerja sama dengan Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Pertamina untuk
membuat aktivitas pengeboran ilegal menjadi legal dengan mekanisme kerjasama operasional (KSO). Dengan begitu, negara bisa mendapatkan bagi hasil dan pajak dari aktivitas pengeboran tersebut.

Jika sudah ada badan usaha yang legal, maka aktivitas pengeboran minyak juga bisa dilakukan dengan kaidah teknik yang benar. Sehingga tidak merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan jiwa. 

Fatar yakin penambang liar bisa membentuk badan usaha karena biaya untuk melakukan aktivitas pengeboran ilegal juga cukup mahal. Menurutnya, biaya untuk mengebor satu sumur ilegal membutuhkan Rp 40 juta. Di sisi lain, keuntungan yang didapat juga cukup tinggi. Fatar mengyebut harga minyak dari pengeboran ilegal bisa mencapai US$ 40 per barel. "Bisa hasilkan ratusan barel dari situ,"ujarnya.

(Baca: Penambangan Ilegal Hambat Pengembangan 8 Sumur Migas Pertamina)

Reporter: Antara