Hari ini sekelompok massa mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka mengenakan kaos merah bertuliskan Jakarta vs Polusi Udara. Masker putih menutupi mulut dan hidung mereka.
Salah satu tokoh yang mengajukan gugatan tersebut adalah Melanie Subono, putri promotor musik kondang Adrie Subono. Menurutnya, bernapas adalah salah satu hak asasi manusia. Namun hak tersebut terampas oleh kualitas udara yang buruk. Pihak yang digugat oleh kelompok masyarakat tersebut adalah pemerintah pusat, pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Sejak beberapa pekan terakhir, kualitas udara Jakarta menurut World Air Quality Index (AQI) dari situs AirVisual menunjukkan kualitas udara terburuk di dunia. Hari ini (1/8), kualitas udara Jakarta berada di posisi ketiga terburuk di dunia setelah Johannesburg, Afrika Selatan dan Ulaanbaatar, Mongolia.
Indeks AQI Jakarta berada di angka 158, masuk kategori polusi moderat. Indeks AQI terbagi menjadi beberapa level:
- Level 1 dengan skor 0-50 menunjukkan kualitas udara yang sangat bagus.
- Level 2 dengan skor 51-100 menunjukkan kualitas udara yang baik.
- Level 3 dengan skor 101-150 menunjukkan kualitas udara mengandung polusi ringan, bisa menimbulkan iritasi pada orang sehat dan dampak lebih serius untuk orang yang sensitif.
- Level 4 dengan skor 151-200 merupakan polusi moderat yang bisa berdampak serius pada orang yang sensitif, termasuk kelompok anak-anak, orang tua, serta orang yang memiliki penyakit pernapasan dan jantung. Pada level ini, masyarakat diimbau mengenakan masker ketika beraktivitas di luar ruangan.
- Level 5 dengan skor 201-300 menunjukkan polusi yang parah sehingga masyarakat diimbau mengurangi aktivitasnya di luar ruangan. Adapun kelompok masyarakat yang sensitif dilarang melakukan aktivitas di luar ruangan dalam kondisi ini.
- Level 6 dengan skor di atas 300 menunjukkan tingkat polusi yang berbahaya yang bisa menimbulkan gangguan kesehatan pada orang sehat. Dalam kondisi ini, aktivitas di luar ruang dilarang dilakukan.
(Baca: Polusi Udara Jakarta Buruk, Anies dan Jokowi Digugat di Pengadilan)
Polusi Udara Menelan Korban 7 Juta Jiwa per Tahun
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memperkirakan polusi udara menyebabkan 7 juta kematian setiap tahun. Polusi udara yang terhirup dan masuk ke dalam sistem pernapasan menyebabkan gangguan pada paru-paru dan sistem kardiovaskular. Bahkan, polusi udara bisa menyebabkan stroke, penyakit jantung, penyakit paru-paru kronis, infeksi saluran pernapasan, dan pneumonia.
WHO juga menyebut 9 dari 10 orang di dunia menghirup udara yang berpolusi. Polusi udara bisa terjadi di luar ruangan maupun di dalam ruangan. Polusi udara di luar ruangan terjadi akibat asap kendaraan, hasil pembakaran dari pabrik, debu, hingga asap kebakaran hutan. Pada 2016, polusi udara di luar ruangan ini menelan korban 4,2 juta jiwa di dunia.
Polusi udara di dalam ruangan ditimbulkan oleh kegiatan memasak yang menggunakan bahan bakar minyak atau kayu yang menimbulkan banyak asap. Bahan kimia yang terdapat pada alat pembersih rumah tangga juga bisa menimbulkan polusi ini. Data WHO menunjukkan, pada 2016 kematian akibat polusi udara di dalam rumah mencapai 3,8 juta jiwa.
Menurut WHO, sekitar 24% dari kematian yang menimpa orang dewasa akibat penyakit jantung, 25% dari stroke, 43% dari penyakit paru-paru akut, dan 29% disebabkan kanker paru-paru. Semuanya memiliki hubungan dengan polusi udara.
(Baca: Tanaman Lidah Mertua dan Upaya Mengurangi Polusi Udara Jakarta)
Memantau Kualitas Udara
Saat ini WHO sudah memantau kualitas udara lebih dari 4.300 kota di 108 negara ke dalam basis datanya. Basis data ini mengumpulkan konsentrasi partikel yang menyebabkan polusi menurut standar PM10 dan PM 2.5 secara tahunan. Menurut PM 2.5, zat-zat penyebab polusi termasuk sulfat, nitrat, dan arang karbon yang menyebabkan risiko gangguan terbesar bagi kesehatan manusia.
WHO merekomendasikan agar negara-negara di dunia menurunkan konsentrasi polusi udaranya rata-rata menjadi 20 μg/m3 (untuk PM10) dan 10 μg/m3 (untuk PM2.5). "Banyak kota-kota megapolitan di dunia yang melampaui batasan kualitas udara yang ditetapkan WHO ini lebih dari lima kali, ini menunjukkan risiko yang sangat besar terhadap kesehatan masyarakat," ujar Maria Neira, Direktur Departemen Kesehatan Masyarakat, Sosial, dan Penentu Kesehatan Lingkungan WHO, dalam keterangan pers di situs WHO.
Beberapa negara mulai sadar akan pentingnya mengukur kualitas udara. Mereka mulai melakukan pemantauan data polusi udara secara teratur. WHO menyebutkan dalam dua tahun, program Pradhan Mantri Ujjwala Yojana di India yang mengganti bahan bakar masak tradisional dengan gas LPG yang dibagikan gratis menunjukkan hasilnya. Kualitas udara di daerah tersebut menjadi lebih baik.
Mexico City juga memperbaiki kualitas udaranya dengan menyediakan transportasi massal berupa bus yang ramah lingkungan. Bus tersebut menggunakan bahan bakar sesuai standar emisi Euro VI. Pemerintah setempat juga mendorong warganya bersepeda dengan membuat jalur khusus bagi pesepeda. Pemerintah juga menyediakan trotoar yang lebar untuk pejalan kaki. Mexico City akan melarang kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar solar mulai 2025.
Bagaimana dengan Jakarta? Pemerintah juga mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi massal, seperti bus Transjakarta yang beberapa di antaranya sudah menggunakan bahan bakar gas. Saat ini masyarakat Jakarta juga bisa menikmati Moda Raya Terpadu (MRT) yang lebih cepat dan lebih ramah lingkungan karena menggunakan tenaga listrik. Kereta Rel Listrik (KRL) bahkan sudah lebih lama beroperasi dibandingkan MRT.
Namun, masih banyak juga masyarakat yang memilih menggunakan kendaraan pribadi. Tak heran jika kemacetan masih terjadi di berbagai titik di Jakarta dan kota-kota penyangganya. Jika Anda ingin berkontribusi mengurangi polusi udara, menggunakan sarana transportasi massal bisa menjadi salah satu solusinya.
(Baca: Bus Listrik Anak Bangsa, Ramah Lingkungan dan Bertenaga Besar)