Kementerian ESDM: Keputusan Blok Corridor Tak Langgar Hukum

Arief Kamaludin|KATADATA
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memutuskan memperpanjang perpanjangan pengelolaan Blok Corridor kepada kontraktor eksisting, yakni ConocoPhilips (Grissik) Ltd, Talisman Corridor LTd (Repsol), dan Pertamina Hulu Energi Corridor hingga 2043.
29/7/2019, 14.00 WIB

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan telah memutuskan memperpanjang kontrak Blok Corridor selama 20 tahun sejak 2023 kepada kontraktor eksisting, yakni ConocoPhillips, Pertamina, dan Repsol. Namun keputusan Jonan yang diumumkan pekan lalu tersebut justru dianggap melanggar hukum karena adanya keputusan judicial review oleh Mahkamah Agung (MA) terkait Peraturan Menteri ESDM Nomor 23/2018 yang digunakan sebagai dasar keputusan Blok Corridor.

Sejumlah pengamat menganggap Jonan seharusnya memberikan 100% hak kelola Blok Corridor kepada Pertamina bukan kepada kontraktor eksisting seperti termuat dalam Pasal 2 Permen ESDM Nomor 23/2018. Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi menjelaskan, Permen No.23 Tahun 2018 khususnya Pasal 2 telah diuji terhadap peraturan diatasnya yaitu Pasal 28 PP No.35 Tahun 2004 dan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.

Menurut Hufron, materi muatan PP No.35 Tahun 2004 Pasal 28 sama sekali tidak ada mengatur Pertamina sebagai "Prioritas" ataupun sebaliknya. Dalam Pasal 2 Permen ESDM No.23 Tahun 2018 yang diuji di MA juga tidak ada bunyi eksplisit mengatur adanya "Prioritas" apalagi kepada kontraktor.

"Urutan dalam penyebutan di Pasal 2 Permen ESDM tersebut bukan mencerminkan prioritas, melainkan sebagai alternatif pilihan, tergantung yang menguntungkan negara. Dalam hukum memang dibedakan antara Negara dan Badan Usaha Milik Negara,"kata Hufron ke Katadata.co.id pada Sabtu (27/7).

(Baca: Pengamat Nilai Hak Kelola Blok Corridor Diserahkan 100% ke Pertamina)

Menurut dia, Putusan MA sudah sangat jelas, urutan dalam Pasal 2 sepanjang tidak dimaknai sebagai opsi prioritas, maka tetap mempunyai kekuatan hukum. Selain itu, tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sepanjang urutan pilihan tidak dimaknai sebagai opsi prioritas.

"Dalam penerapannya, Menteri ESDM menetapkan pengelola WK yang berakhir masa kontraknya bukan karena prioritas melainkan hasil penilaian yang logis, profesional, dan berdasarkan peraturan yang mempunyai kekuatan hukum,"kata Hufron.

Jonan memang akhirnya memberikan persetujuan perpanjangan pengelolaan Blok Corridor kepada kontraktor eksisting, yakni ConocoPhilips (Grissik) Ltd, Talisman Corridor LTd (Repsol), dan Pertamina Hulu Energi Corridor hingga 2043 dengan porsi kepemilikan hak partisipasi yang berbeda dengan kontrak saat ini. Sebelum 2023, hak partisipasi ConocoPhillips sebesar 54%, Pertamina sebesar 10%, dan Repsol sebesar 36%. Setelah 2023, hak partisipasi Pertamina naik menjadi 30%, ConocoPhillips 46%, dan Repsol 24%. Hak partisipasi tersebut sudah termasuk 10% untuk bagian BUMD.

Selain itu, akan ada penggantian operator Blok Corridor.  Selama tiga tahun pertama setelah 19 Desember 2023, ConocoPhilips tetap menjadi operator Blok Corridor. Namun setelah 19 Desember 2026, operator Blok Corridor akan diserahkan kepada Pertamina. Ketiga perusahaan sudah saling sepakat terkait pembagian masa operator blok tersebut.

(Baca: Keputusan Jonan Perpanjang Pengelolaan Blok Corridor Dipersoalkan)

Perpanjangan kontrak Blok Corridor berlaku selama 20 tahun hingga 2043.  Kontrak Kerja Sama (PSC) Blok Corridor pasca 2023 akan menggunakan skema gross split. Besaran bagi hasil dasar (base split) sebesar 48,5% untuk minyak dan gas sebesar 53,5%. Selanjutnya, bagi hasil akan mengikuti ketetapan progressif split sesuai dengan perkembangan harga minyak dan kumulatif produksi migas. Selain itu, kontraktor wajib melakukan Komitmen Kerja Pasti (KKP) lima tahun pertama sebesar US$ 250 juta dan Bonus Tanda Tangan sebesar US$ 250 juta atau setara Rp 3,48 triliun. 

Dalam judicial review Pasal 2 tersebut, MA menjatuhkan keputusan bernomor 69P/HUM/2018 pada tanggal 29 November 2018 dengan amar putusan sebagai berikut:

  1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon seluruhnya;
  2. Menyatakan Pasal 2 Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Wilayah kerja Minyak dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar NRI Tahunn 1945, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi, serta Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sepanjang urutan pilihan dimaknai sebagai opsi prioritas;
  3. Menyatakan Pasal 2 Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Wilayah kerja Minyak dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang urutan pilihan dimaknai sebagai prioritas.
  4. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara.
  5. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar RP 1.000.000 (satu juta rupiah).

(Baca: SKK Migas Tinjau Ulang Pengelolaan Blok Terminasi oleh Pertamina )