Perusahaan Listrik Negara (PLN) menerapkan strategi penonaktifan pembangkit secara real time saat kebutuhan listrik tidak terlalu besar. Ini sebagai bentuk efisiensi biaya operasional.
Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Djoko Rahardjo Abumanan menjelaskan pertumbuhan permintaan listrik dari sektor industri melambat. Maka itu, perusahaan perlu menonaktifkan pembangkit yang memiliki biaya mahal, saat tidak diperlukan.
Pembangkit yang jadi opsi untuk dinonaktifkan yakni Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU), dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). "PLN akan hitung biayanya, yang mahal tidak dioperasikan," ujarnya kepada katadata.co.id, Senin (15/7).
(Baca: Tak Sesuai Kebutuhan, Megaproyek Listrik 35 Ribu MW Mundur Hingga 2028)
Djoko menjelaskan perusahaan melakukan evaluasi secara langsung atau real time setiap jam. Evaluasi tersebut untuk melihat seberapa besar beban listrik per jam dan kemungkinan efisiensi dengan penonaktifan pembangkit.
Bila permintaan listrik naik, maka pembangkit yang diberhentikan bisa dioperasikan kembali. "Dinonoperasikan per jam, karena proyeksi beban real time," kata dia.
Ia menjelaskan, pertumbuhan permintaan listrik berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Bila ekonomi tumbuh kencang, konsumsi listrik pada industri, bisnis, dan rumah tangga meningkat. Alhasil, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik akan turun.
(Baca: Pemerintah Sediakan Kompensasi Rp 22 T Bila Tarif Listrik Tak Naik)
Di tengah pertumbuhan ekonomi saat ini yang dinilai lambat, BPP naik sekitar 9%. Meski begitu, PLN memastikan tidak ada kenaikan tarif listrik tahun ini. Beberapa waktu lalu, Vice President Public Relation PLN Dwi Suryo Abdullah menjelaskan pihaknya menyiapkan beberapa cara untuk menopang kinerja keuangan perusahaan.
Salah satu caranya yaitu meningkatkan penjualan listrik ke pelanggan untuk menggenjot pendapatan. “Di samping itu kami melakukan beberapa program peningkatan kinerja pembangkit,” ujarnya.