Tanpa Regenerasi, Desa Wisata Ulos Danau Toba Kekurangan Penenun

Katadata/Michael Reily
Keluarga Rimhot Simarmata, penenun ulos di Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan yang berada di Pulau Samosir, Sumatera Utara, 24 Juni 2019.
Penulis: Michael Reily
Editor: Pingit Aria
12/7/2019, 17.57 WIB

Ulos merupakan kain tenun kebanggaan Sumatera Utara. Ulos bernilai tinggi karena dibuat dari benang katun yang diwarnai secara alami dan ditenun dengan tangan. Semakin rumit motif ulos, semakin mahal pula harganya.

Salah satu lokasi penghasil ulos yang terkenal adalah Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan yang berada di Pulau Samosir, Sumatera Utara. Desa dengan beberapa rumah adat itu telah menjadi Desa Wisata Ulos Danau Toba.

Katadata.co.id mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke sana dan bertemu Rimhot Simarmata. Berumur 75 tahun, ia merupakan yang paling tua di antara enam penenun ulos di desa itu.

Ya, kini hanya tersisa enam penenun di sana. "Orang Batak itu, siapapun yang datang, pasti kami terima, asal baik," kata Rimhot ramah sambil duduk di depan alat tenunnya, akhir Juni lalu.

Rimhot yang telah menenun sejak usia 10 tahun menurunkan ilmunya pada delapan anak. Namun, hanya anak tertuanya yang kini mengikuti jejak sang ibu menjadi penenun ulos.

(Baca: Busana Batik Indonesia Mewarnai Sidang Terbuka Dewan Keamanan PBB)

Kondisi itu tak hanya terjadi di keluarganya. "Tinggal sedikit penenun. Kebanyakan yang sekolah memilih pekerjaan lain. Ya, terserah mereka," ujar Rimhot.

Desa Wisata Ulos (Katadata/Michael Reily)

Ia menyadari bahwa bekerja sebagai penenun tidak menjanjikan materi berlimpah. Menurutnya, selembar ulos memerlukan bahan baku benang antara Rp 100 - 200 ribu. Sementara harga ulos berukuran kecil sekitar Rp 400 ribu dan Rp 500 ribu untuk ukuran yang lebih besar.

Itu pun jika ulos buatannya dijual langsung ke wisatawan. Namun, tengkulak akan membelinya dengan harga yang lebih murah.

Di sisi lain, usia telah memangkas tenaganya. Jika dulu Rimhot bisa menyelesaikan dua lembar ulos tiap pekan, kini ia hanya mampu membuat satu lembar saja. Artinya, ia hanya mengantongi sekitar Rp 2 juta per bulan dari menenun ulos.

Ia harus berhemat dengan penghasilan sekecil itu. "Ya bagaimana, kami butuh uang untuk makan. Anak dan cucu yang masih sekolah juga telepon, butuh uang mingguan," katanya lagi.

(Baca: Upaya Bekraf Angkat Sarung sebagai Produk Budaya di IFW 2019)

Dibantu sang cucu, Winda Sirait, Rimhot juga mulai memasarkan ulos buatannya melalui internet. Dengan begitu, mereka bisa menjangkau pembeli di berbagai daerah.

Menurut Winda, ulos buatan neneknya yang dipesan secara eksklusif bisa laku hingga jutaan rupiah. Media sosial jadi alat promosinya untuk menarik orang datang ke desanya.

Hanya, Winda juga harus membagi waktu antara berjualan online dengan pekerjaannya di bidang pariwisata. "Permintaan terasa tambah banyak, setidaknya ulos yang sudah jadi tidak menumpuk di rumah," kata Winda.

Untuk menarik lebih banyak anak muda untuk mengenal ulos, Rimhot dan para perajin lain menenun bersama tiap pekan. Kegiatan ini pun menjadi daya tarik bagi wisatawan yang datang.

Mereka berharap ulos terus bertahan di Pulau Samosir. Ulos buatan tangan diyakini berkualitas lebih baik ketimbang hasil pintalan mesin.

(Baca: Menperin Targetkan Ekspor Batik dan Tenun Naik 10%)

Kelangkaan ulos juga pernah dinyatakan oleh Devi Pandjaitan. Isteri Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan itu mencontohkan, salah satu koleksi ulos klasiknya yang bermotif gatip-gatip. “Sekarang sudah tidak ada yang bisa bikin, sudah punah,” katanya, dikutip Kompas, September 2018 lalu.

Menurutnya, banyak di antara penenun ulos saat ini terpaksa membuat motif yang lebih sederhana. Dengan begitu, mereka dapat membuat lebih banyak ulos dan berbagi keuntungan dengan tengkulak.

Reporter: Michael Reily