Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), sebutan untuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri kini diubah menjadi pekerja migran Indonesia. Perubahan nama ini diharapkan membawa dampak positif bagi pekerja migran Indonesia, yang dulu identik dengan tenaga kerja kasar tanpa kompetensi dan mayoritas bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Ada paradigma baru perlindungan tenaga kerja dalam UU itu, yakni negara hadir untuk melindungi pekerja migran. Perlindungan itu diberikan pemerintah pusat maupun daerah kepada pekerja migran sejak sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja. Adapun pihak swasta juga turut berperan dalam menempatkan pekerja migran di negara, perusahaan, dan lokasi kerja yang aman dan nyaman.
“Perubahan paradigma yang terjadi, di antaranya negara tidak memobilisasi, melainkan memfasilitasi pekerja migran. Calon pekerja migran juga tidak direkrut oleh sponsor, tetapi mendaftar. Perlindungan lebih diutamakan dan pekerja migran tidak dibebani biaya penempatan,” kata Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri.
Kemenaker menyayangkan selama ini ada stigma bahwa pekerja migran selalu dikaitkan dengan pekerja level rendah, tanpa ketrampilan. Padahal, pekerja migran Indonesia juga ada yang dari level menengah setara teknisi atau perawat. Bahkan ada yang sampai level tinggi setara chief executive officer (CEO) di perbankan kelas dunia.
Menteri Hanif menyebutkan data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa jumlah pekerja migran asisten rumah tangga atau pekerja domestik dari tahun ke tahun terus menyusut. Pada Maret 2017, jumlah pekerja migran yang bekerja sebagai asisten rumah tangga mencapai 19.306 orang. Setahun kemudian jumlah itu menyusut sebanyak 1.352 orang menjadi 17.954 orang.
Begitu pula angka pekerja cleaning service yang pada Maret 2017 berjumlah 647 orang. Pada Maret 2018, jumlah ini berkurang lebih dari 50 persen menjadi 319 orang saja. Adapun pekerja migran yang bekerja sebagai buruh berkurang dari 7.500 orang pada Maret 2017 menjadi 6.047 orang pada 2018.
Sebaliknya, ragam pekerjaan yang membutuhkan kompetensi atau keahlian khusus justru meningkat. Misalnya untuk profesi teknisi mesin hidrolik. Jumlah pekerja migran yang bekerja dengan keahlian khusus mesin hidrolik ini naik lebih dari 100 persen, yakni dari 1.185 orang pada 2017 menjadi 2.887 orang setahun kemudian.
Hal yang sama terjadi pada pekerjaan operator crane, yang juga tidak sembarang orang bisa melakukannya. Pada Maret 2017 baru 608 pekerja migran Indonesia yang dipercaya mengoperasikan crane ini, tapi setahun kemudian jumlahnya meningkat menjadi 1.193 orang.
Kemajuan keahlian pekerja migran di rantau ini selaras dengan data tentang latar belakang pendidikan mereka, yang juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Pusat Penelitian Pengambangan dan Informasi BNP2TKI, jumlah pekerja migran dengan pendidikan sarjana naik dari 266 orang pada 2017 menjadi 327 orang pada 2018. Demikian pula jumlah pekerja migran lulusan diploma yang naik dari 762 orang menjadi 971 orang. Sebaliknya, jumlah pekerja migran tamatan sekolah dasar turun signifikan, dari 22.052 orang di 2017 menjadi 20.250 pada 2018.
Sementara itu, untuk negara tujuan pekerja migran, dari tahun ke tahun masih relatif sama. Pada 2018, jumlah pekerja migran Indonesia di Malaysia tercatat paling banyak, mencapai 4.446 orang. Diikuti di posisi dua Taiwan dengan 1.329 pekerja. Berikutnya berturut-turut Hong Kong (686 orang), Arab Saudi (428 orang), Singapura (306 orang), Korea Selatan (181 orang), dan Brunei Darussalam (101 orang).
Pada tahun 2018, meski persaingan sangat ketat, tercatat ada 76 pekerja migran Indonesia yang bekerja profesional di Jepang. Dengan kerja sama G to G yang semakin erat, angka ini dipastikan semakin bertambah di tahun 2019. Demikian pula dengan di Eropa dan Amerika Serikat, yang masing-masing tercatat sudah ada 7 dan 14 pekerja migran di sana.
Berdasarkan perkembangan data di atas, sudah sepantasnya stigma pekerja migran sebagai pekerja tanpa keahlian, kelas rendahan dan berupah murah dihapuskan. Sebab, kondisi kini sudah sangat jauh berbeda.
Sekretaris Utama BNP2TKI, Tatang Budie Utama Razak, mengajak seluruh anak negeri mengubah stigma pekerja migran Indonesia. Sebab, pekerja migran bukan tanpa skill sama sekali, melainkan dengan ketrampilan bahkan keahlian yang memadai.
Menurut Tatang, saat ini pemerintah daerah telah lebih dilibatkan untuk memberi pelatihan kepada calon pekerja migran serta menjamin ekonomi keluarganya. Keterlibatan Pemda ini terutama dalam pelayanan satu atap (LTSA) serta pogram desa migran produktif (desmigratif).
Mengenai kemampuan para pekerja migran ini, Menteri Hanif menjelaskan bahwa peningkatan kompetensi dilakukan melalui pelatihan di balai latihan kerja (BLK) dan program pemagangan dengan menggandeng dunia industri. Karena itu, Kementeriannya menjalin banyak kerja sama dengan industri untuk program pelatihan, sertifikasi, dan fasilitasi penempatan pekerja migran.
Dalam lima tahun ke depan, Kemnaker menargetkan 5.000 pekerja migran bisa mengikuti pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasi di lembaga pelatihan kerja pemerintah. Lembaga pelatihan tersebut meliputi Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) Semarang, Balai Latihan Kerja Dalam dan Luar Negeri (BLKDLN) Provinsi Jawa Tengah, Balai Besar Pengembangan Pasar Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (BBPPK dan PKK) Lembang, Jawa Barat, dan Unit Pelaksana Teknis Pelatihan Kerja Pertanian, serta Penyiapan dan Pengembangan Tenaga Kerja Luar Negeri (UPT PKPPPTKLN).
Kalau dulu calo/sponsor yang mengerahkan, sekarang calon pekerja migran bisa secara mandiri mendatangi pusat layanan migrasi di desa-desa desmigratif dan LTSA. Hal ini dapat dilihat dari data kunjungan calon pekerja migran ke LTSA, yang mayoritas untuk mencari informasi lowongan kerja di luar negeri agar dapat mempersiapkan diri sendiri. Pekerja migran kini lebih giat menyiapkan diri untuk menyongsong masa depan gemilang mereka sendiri. Tak perlu disuruh, didorong, apalagi ditipu.