Lembaga pemantau korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), mengingatkan panitia seleksi (pansel) calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bersikap selektif. Tujuannya, agar pemimpin KPK ke depan merupakan figur berintegritas yang memperkuat posisi lembaga antirusuah tersebut, bukan justru memperlemah.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhani mengatakan, menjabat posisi pimpinan KPK tidak mudah. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi sehari-hari, dari mulai ancaman, kriminalisasi tanpa dasar hukum yang jelas, hingga tindak kekerasan.
(Baca: ICW: Jokowi Masih Sibuk Pilpres, Pembentukan Pansel KPK Bisa Terhambat)
Selain itu, pimpinan KPK harus menghadapi upaya dari pihak-pihak yang ingin melemahkan lembaganya. “Sebut saja ancaman revisi UU KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” ujarnya seperti dikutip dari keterangan pers, Sabtu (22/6).
Ia juga menyinggung tantangan lainnya, seperti konflik internal. Contohnya ketika mayoritas pegawai KPK mengeluhkan kinerja petinggi Kedeputian Penindakan yang dituangkan dalam sebuah petisi untuk pimpinan KPK.
Kemudian, tantangan untuk menyelesaikan sejumlah isu seperti kemandekan penanganan perkara, kebocoran informasi, perlakuan khusus kepada saksi, dan pembiaran dugaan pelanggaran berat. Maka itu, ia menekankan pentingnya pansel pimpinan KPK bersikap selektif.
Beberapa waktu lalu, sempat beredar draf surat berisi nama-nama penegak hukum yang dikabarkan dicalonkan sebagai pimpinan KPK. Tentang ini, ia mengingatkan, tidak ada kewajiban dalam peraturan perundang-undangan bahwa pimpinan KPK harus berasal dari instansi penegak hukum.
(Baca: KPK: Ada Dokumen Baru Kasus Suap Garuda Indonesia)
Apalagi, rekam jejak para penegak hukum juga tidak terlalu baik di mata publik dalam konteks pemberantasan korupsi. "Ada beberapa catatan serius yang harus dipertimbangkan matang-matang oleh pansel," katanya.
Ia pun mengutip data yang diluncurkan Lembaga Survei Indonesia pada 2018 lalu, bahwa lembaga yang paling berpotensi melakukan pungutan liar dalam pelayanan birokrasi adalah Kepolisian. Sedangkan Kejaksaan berada di urutan bawah dalam hal tingkat kepercayaan publik.
Melihat data ini, ia menilai semestinya Kapolri dan Jaksa Agung memprioritaskan pembenahan di internal terkait temuan tersebut, bukan justru berbondong-bondong mengirimkan wakil terbaiknya untuk menjadi Pimpinan KPK.
ICW menilai kinerja dari beberapa wakil Kepolisian di KPK tidak memuaskan, bahkan mengecewakan. Salah satu contohnya dalam kasus Aris Budiman (mantan Direktur Penyidikan) menandatangani Panitia Angket bentukan DPR secara tiba-tiba meski tak mendapatkan izin dari Pimpinan KPK.
Lembaga ini menegaskan, keputusan yang tepat ialah menolak keberadaan unsur penegak hukum tertentu untuk menduduki jabatan tertinggi di KPK. Apalagi, KPK sedang menangani kasus korupsi dengan skala politik dan potensi kerugian negara yang besar, seperti pada kasus korupsi KTP-elektronik dan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
(Baca: Libatkan BNPT, Pansel KPK Siap Tangkal Calon yang Terpapar Radikalisme)
”Jadi pansel mempunyai kewajiban agar Pimpinan KPK ke depan tidak berupaya untuk menghambat penanganan beberapa kasus,” ujarnya.
Kurnia menambahkan, ICW juga menilai setiap orang yang mendaftar sebagai pimpinan KPK harus mundur dari institusinya terdahulu. Hal ini dinilai penting mengingat Pasal 3 UU KPK telah menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
“Hal ini sekaligus menghindari potensi loyalitas ganda ketika memimpin lembaga anti korupsi itu,” kata dia.