Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pesimistis Revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bisa segera rampung dalam waktu dekat. Sebab, pemerintah belum juga menyelesaikan Draft Isian Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, jika pembahasan RUU Migas tidak juga selesai pada akhir periode DPR saat ini, maka prosedur revisi UU Migas harus diulang dari awal. Pasalnya, RUU Migas harus dimasukkan kembali ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di periode anggota DPR yang baru. Kemudian, DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) dan mengkaji kembali draft RUU Migas yang sudah ada.
Padahal terbitnya UU Migas yang baru sangat penting bagi kelanjutan investasi hulu migas Indonesia. Selama ini investor merasa tidak ada kepastian hukum di sektor hulu migas Indonesia karena belum rampungnya revisi UU Migas.
"Investor ingin jelas dengan siapa mereka harus deal. Sementara ganjalan dalam RUU hari ini kan ada yang berkaitan dengan kelembangaan SKK Migas dan Pertamina. Buat investor itu jadi tanda tanya," kata Fabby ketika dihubungi Katadata.co.id pada Jumat (14/6).
(Baca: DPR Pesimistis RUU Migas Rampung pada Periode Sekarang)
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakana, belum rampungnya revisi UU Migas pada periode DPR saat ini tentu akan berdampak pada iklim investasi hulu Indonesia. Padahal Indonesia perlu investasi hulu migas yang cukup besar, terutama untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di laut dalam dan Indonesia Timur demi menambah jumlah cadangan migas.
Mamit pun menilai tidak adanya UU Migas baru justru membuat lesu investasi hulu migas Indonesia. "Ini sudah berdampak kok. Makanya agak lemah investasi migas kita,"ujar Mamit.
Mamit mensinyalir ada kepentingan segelintir orang yang ingin memperlambat penerbitan UU Migas yang baru. Padahal UU Migas penting untuk segera diterbitkan. "Kepentingan para pemburu rente misalnya, terkait dengan mekanisme cost recovery,"ujar Mamit.
Selain itu, pemerintah dan DPR juga tidak memiliki kepentingan yang sama sehingga revisi UU Migas tidak kunjung selesai dalam lima tahun terakhir. "Ya karena masing-masing punya kepentingan, jadi negoisasinya lama. Dari draft yang beredar saja berbeda antara punya pemerintah dan DPR,"katanya.
(Baca: Menimbang Arahan Jokowi dalam Konsepsi Kelembagaan Hulu Migas)
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Djoko Siswanto mengatakan pemerintah masih menyempurnakan DIM untuk diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Di sisi lain, pemerintah melihat waktu yang semakin terbatas untuk membahas revisi UU Migas dengan anggoota DPR. Pasalnya, masa kerja anggota DPR saat ini hanya sampai Oktober 2019.
Ditambah lagi, pemerintah belum juga mendapatkan undangan pembahasan RUU migas dari DPR. Makanya pemerintah memutuskan untuk membahas RUU Migas dengan anggota DPR periode 2019-2024. "Sekarang tanggung. Kami menunggu diundang rapat, undangan bahas RUU Migas belum ada,"kata Djoko pada Rabu (12/6).