Kuasa hukum pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, menilai permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta agar kliennya segera menyerahkan diri tak tepat. Bahkan, Maqdir menilai pernyataan KPK tersebut dianggapnya telah melampaui batas.
"Kalau KPK meminta beliau menyerahkan diri ke KPK, maka menurut hemat saya permintaan itu tidak benar," kata Maqdir ketika dihubungi Katadata.co.id, Rabu (12/6).
Menurut Maqdir, permintaan KPK tersebut seakan telah memvonis Sjamsul bersalah dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Padahal, Maqdir menilai proses peradilan terhadap Sjamsul belum dimulai.
(Baca: KPK Tetapkan Sjamsul Nursalim dan Istri Sebagai Tersangka Kasus BLBI)
Sjamsul pun sampai saat ini belum pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut. "Seolah-olah KPK sudah menghukum pak Sjamsul Nursalim tanpa proses peradilan," ujar Maqdir.
Terkait dengan peluang KPK mengajukan proses pengadilan tanpa kehadiran Sjamsul (in absentia), Maqdir menyatakan belum sempat berbicara dengan kliennya. Maqdir pun belum memutuskan langkah apa yang akan diambil setelah penetapan Sjamsul sebagai tersangka.
Meski demikian, Maqdir mengatakan pihaknya akan segera mendiskusikan hal tersebut dengan tim kuasa hukum Sjamsul. "Tentunya segera akan didiskusikan dengan tim," kata dia.
(Baca: Gurita Bisnis Sjamsul Nursalim yang Jadi Tersangka KPK)
KPK Minta Sjamsul Nursalim dan Itjih Menyerahkan Diri
KPK meminta agar Sjamsul beserta istrinya, Itjih Nursalim dapat memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai tersangka. Dengan demikian, Sjamsul dan istrinya dapat melakukan pembelaan diri atas kasus dugaan korupsi BLBI yang menjerat dirinya.
Selama ini, Sjamsul dan Itjih tak pernah memenuhi agenda pemeriksaan yang dijadwalkan KPK. Padahal, KPK telah berupaya memanggil Sjamsul dan Itjih sebagai saksi secara patut sejak penyelidikan lanjutan dimulai pada Agustus 2018.
Hal tersebut dilakukan dengan mengirimkan surat panggilan ke alamat keduanya yang tercatat secara formil maupun lainnya di Indonesia dan Singapura. Waktu yang diberikan KPK untuk Sjamsul dan Itjih memberikan keterangan tersebut, antara lain pada 8,9, dan 22 Oktober 2018 serta 28 Desember 2018.
"Jika pihak SJN dan ITN ingin membela diri dalam perkara ini, akan lebih baik hadir memenuhi panggilan KPK atau kami menyarankan untuk menyerahkan diri karena saat ini statusnya tersangka," ujar juru bicara Febri Diansyah pada Selasa (11/6), seperti dikutip dari Antara.
(Baca: Dibantu Aparat Singapura, KPK Panggil Lagi Sjamsul Nursalim dan Istri)
Jika Sjamsul dan Itjih tidak kooperatif, maka KPK berencana menggunakan pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia) untuk menyidang Sjamsul dan Itjih. Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengatakan, pengadilan in absentia akan merugikan Sjamsul dan Itjih.
Sebab, keduanya tak akan bisa memberikan keterangan untuk membela diri secara langsung ketika di pengadilan. "Sebaiknya kepada yang bersangkutan bisa membela hak-haknya di pengadilan," kata Laode.
KPK telah menetapkan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka kasus dugaan korupsi BLBI. Keduanya diduga sebagai pihak yang diperkaya senilai Rp 4,58 triliun dalam kasus tersebut.
"SJN (Sjamsul Nursalim) dan ITN (Itjih Nursalim) disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
(Baca: Syafruddin Temenggung Divonis Penjara 13 Tahun dalam Korupsi BLBI)
Saut mengatakan, penetapan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan perkara eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin Arsyad Temenggung. Sebelumnya, Sjafruddin telah divonis hukuman penjara selama 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan banding.
Saut mengatakan, dalam pertimbangan putusan sejak tingkat pertama hingga banding, majelis hakim telah menyatakan kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut sebesar Rp 4,58. Angka tersebut merupakan selisih antara kewajiban yang belum diselesaikan sebesar Rp 4,8 triliun dengan hasil penjualan piutang oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PT PPA) tahun 2007 senilai Rp 220 miliar.
"Sedangkan terkait dengan pihak yang diperkaya, pada pertimbangan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Nomor 39/Pid.Sus/Tpk/2018/PN.Jkt.Pst disebutkan secara tegas bawa tindakan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul sebesar Rp 4,58 triliun," kata Saut.