Arifin Ilham, Pelantun Zikir yang Menenteramkan Hati

ANTARA FOTO/AGUS SETIAWAN
Foto dokumentasi saat pendakwah dan pimpinan Majelis Az-Zikra, (almarhum) Ustadz Muhammad Arifin Ilham (tengah) bersama ibu istri dan anak-anaknya usai olah raga di halaman Apartemen One Mansion George Town Penang (28/01). Arifin Ilham meninggal dunia Rabu (22/5) di Rumah Sakit Glenneagles Penang, Malaysia, karena sakit kanker getah bening yang dideritanya dan jenazah akan diterbangkan ke Indonesia Kamis (23/5).
24/5/2019, 08.00 WIB

Pemimpin pondok pesantren Az-Zikra, Bogor yakni Ustadz Arifin Ilham meninggal dunia di Penang, Malaysia, Rabu (22/5), akibat kanker getah bening dan infeksi paru-paru yang dideritanya. Saat ini jenazahnya sudah tiba di Jakarta dan dimakamkan di Kompleks Pondok Pesantren Az-Zikra, Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.

Sejumlah tokoh menyampaikan duka cita mendalam atas meninggalnya dai yang terkenal dengan lantunan zikirnya yang menentramkan hati ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam akun Instagramnya menyampaikan bela sungkawa kepada keluarga Arifin Ilham. Dalam unggahannya, Jokowi menggunakan foto dirinya saat menjenguk Arifin beberapa waktu lalu. "Semoga amal ibadah almarhum diterima di sisi Allah SWT," demikian ditulis akun @Jokowi pagi tadi.

Lawan tanding Jokowi saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Sandiaga Uno, juga mengunggah foto bersama Arifin. Dalam penjelasannya, Sandiaga mengatakan foto diambil tanggal 8 Januari 2019 ketika Arifin dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dia mengatakan saat itu Arifin tak banyak bicara, hanya memberi sinyal lewat genggaman tangan. "Takjub melihat kuatnya beliau menghadapi penyakit yang dideritanya," kata Sandiaga.

Arifin Ilham Keturunan Ulama Besar Kalimantan

Latar belakang dan leluhur Arifin memang tidak jauh dari keagamaan. Pria kelahiran Banjarmasin 8 Juni 1969 ini merupakan keturunan Syeikh Al-Banjar, ulama besar di Kalimantan. Ayahnya, Ilham Marzuki adalah pegawai Bank Negara Indonesia (BNI) 46. Arifin kecil lebih banyak mendapat pendidikan dari  ibunya, Nurhayati, dan neneknya.

Saat kecil, Arifin bersekolah di pendidikan formal yang berada di bawah naungan Muhammadiyah. Dia terkenal sebagai anak “bandel” dan sering bergaul dengan anak yang lebih tua, berjudi, merokok, kabur dari rumah, bahkan sempat mengancam membakar rumah saat meminta dibelikan motor. Namun, dia juga memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Saat kelas tiga Sekolah Dasar (SD) dia sempat dikeluarkan dari sekolah, lantaran berkelahi dengan kawannya. Masalahnya, dia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diganggu oleh teman sekelasnya yang berbadan cukup besar.

Pada 1982, orang tuanya berangkat ke Tanah Suci, menunaikan ibadah haji. Arifin dan keempat saudara perempuannya ditinggalkan di Banjarmasin. Kenakalan Arifin bertambah, uang bekal yang ditinggalkan orang tuanya dihabiskan untuk bermain judi kelereng. Namun, hidayah datang melalui temannya, Denny yang merupakan seorang pemabuk dan penjudi. Dia menegur Arifin yang sedang asik berjudi, padahal orang tuanya sedang beribadah haji.

Tiba-tiba Arifin dihantui perasaan bersalah luar biasa kepada kedua orang tuanya. Bayang-bayang kenakalan selama ini mendadak muncul di hadapannya, membuat batinnya makin tersiksa. Hal ini membuatnya tidak bisa tidur semalaman.

Sejak itu, Arifin berubah dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi berjudi dan melakukan tindakan yang tercela. Dia pun meminta kepada orang tuanya untuk menuntut ilmu agama di pesantren. Menjelang pembagian rapor akhir kelas 1 SMP, orang tuanya mengajak berkunjung ke Pesantren Al-Fallah di Banjarmasin, tapi, Arifin menolak. Dia ingin menempuh pendidikan di pesantren modern. "Saya ingin masuk pesantren yang bercelana panjang dan berdasi," ujarnya, seperti dikutip dalam biografinya di situs Az-zikra.

Keluar masuk pesantren sempat dialaminya saat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta. Arifin bersekolah Madrasah Aliyah (setara SMA) mulai dari Pesantren Darunnajah hingga Assyafi'iyah. Saat itu dia sudah mulai memberikan ceramah di Banjarmasin, saat libur pesantren. Saat kelas dua Aliyah, di Pesantren Assyafi’iyah, dia mulai diundang ceramah menggantikan ustadnya. Sejak saat itu, Arifin mulai dikenal dan banyak di minta ceramah.

Lulus SMA, Arifin melanjutkan kuliah jurusan hubungan internasional di Universitas Nasional, Jakarta. Sambil kuliah, Arifin terus berceramah di masjid, musala, dan majelis taklim dari Jakarta hingga ke Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Pada 1994 Arifin lulus menjadi sarjana. Selain menjadi dosen di Universitas Borobudur, Arifin makin memantapkan diri sebagai dai.

Pada 1997 Arifin mulai menggelar zikir berjamaah dengan anggota dua hingga tiga jamaah di Masjid Al-Amru Bit-Taqwa, yang didirikan bersama tetangganya di Perumahan Mampang Indah II, Depok. Metode zikirnya mudah diikuti dan terkadang diterjemahkan dengan bahasa Indonesia. Tak sekadar berzikir, Arifin membawa jamaahnya mengoreksi diri (muhasabah). Tak jarang, banyak jamaahnya yang terbawa dengan zikirnya hingga meneteskan air mata.

Jamaah zikir Arifin pun bertambah banyak, hingga masjidnya penuh setiap kegiatan ini. Media televisi pun turut melambungkan nama dan kegiatan zikir Arifin. Majelis Az-Zikra di Depok semakin terkenal di Tanah Air sejak didirikan pada 2000. Pada 2009, Az-Zikra resmi pindah ke kawasan Sentul.

Membangun Kompleks Az-Zikra dengan Bantuan Libya

Pada 2002, Arifin Ilham berkenalan dengan Ketua Bidang Hubungan Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi. Saat itu, Muhyiddin merupakan Koordinator World Islamic Call Society (WICS) Indonesia. WICS  merupakan lembaga yang didirikan oleh mendiang Presiden Libya, Muammar Qaadafi, yang berpusat di Ibu Kota Tripoli.

Kepada Muhyiddin, Arifin mengungkapkan keinginannya membangun masjid besar dan Islamic Center di Kabupaten Bogor. Muhyiddin pun menyampaikan hal ini kepada pemerintah Libya yang saat itu dipimpin oleh Muammar Qaadafi.

Pada 2005, Muhyiddin mengajak Arifin bertemu Qaadafi di Jerman dengan membawa usulan lahan untuk membangun masjid tersebut di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Dua tahun kemudian masjid ini dibangun dengan dana Rp 60 miliar dari Qaadafi melalui WICS. Saat diresmikan pada 2009, masjid ini diberi nama Masjid Muammar Qaadafi.

Masjid ini dibangun di atas lahan seluas 12.600 hektare, terdiri dari bangunan masjid yang mampu menampung 22 ribu orang jamaah. Kemudian, gedung pertemuan (convention hall), taman, area parkir, dan kompleks pesantren.

Pemberontakan yang terjadi di Libya berujung pada penggulingan Muammar Qaadafi pada 2011, karena dianggap diktator. Suntikan dana untuk pembangunan Islamic Center pun terhenti. Setahun kemudian, Dewan Transisi Nasional yang berkuasa di Libya, memprotes penamaan Muammar Qaadafi sebagai nama masjid di Sentul. Akhirnya, Arifin mengubah nama masjid tersebut menjadi Masjid Az-Zikra.

Terlibat Aksi 411 dan 212

Arifin Ilham tidak pernah secara langsung terlibat dalam politik praktis. Namun, dia pernah ikut dalam rangkaian aksi demonstrasi pada akhir 2016. Demonstrasi ini menuntut Basuki Tjahaja Purnama ditindak secara hukum, karena dianggap menistakan Agama Islam usai pernyataannya mengenai surat Al-Maidah ayat 51.

Dalam aksi 411 pada 4 November 2016, Arifin sempat masuk rumah sakit karena terkena gas air mata. Sebulan kemudian, dia kembali ikut dalam aksi 212 pada 2 Desember 2016, dengan tuntutan yang sama. "Ya Allah, Al Maidah 51 milik-Mu. Kau saksikan semua berkumpul karena Al-Maidah 51. Berkahilah Indonesia." demikian petikan doa Arifin saat aksi 212, sebulan setelah dirinya keluar dari rumah sakit.

Tuntutan dalam rangkaian aksi ini berhasil dan Ahok akhirnya mendekam di penjara hingga tahun 2018 lalu. Meski demikian, hal tersebut tak menyurutkan rasa duka yang disampaikan mantan Gubernur DKI Jakarta itu atas meninggalnya Arifin. "Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan," demikian cuitan Ahok dalam akun twitternya, @basuki_btp.