Rancangan Undang-Undang Ekonomi Kreatif tengah dibahas di Komisi X Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR). Undang-undang tersebut dimaksudkan sebagai payung hukum bagi para pelaku ekonomi kreatif, termasuk untuk mendapatkan akses modal berbasis kekayaan intelektual.
"Rapat Panitia Kerja merumuskan ketentuan mengenai skema pembiayaan berbasis HKI," kata Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ari Juliano Gema dalam keterangannya, Jumat (17/5).
Dia mengungkapkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi) masih mengkaji skema pembiayaan bagi pelaku industri kreatif. Pembahasan serupa juga berlangsung di Gedung Parlemen, Senin (13/5) dan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) di Hotel Le Meridien Jakarta, Selasa (14/5) lalu.
Menurut Ari, diskusi tersbut akan sangat memperhatikan kepentingan pelaku usaha ekonomi kreatif. Kemudian, hasilnya akan dibawa ke pembahasan Rapat Panita Kerja (Panja) di Gedung Parlemen.
(Baca: Anang Hermansyah Usulkan Revisi UU Hak Cipta Atur Royalti Digital)
Ketua Panja RUU tentang Ekonomi Kreatif Abdul Fikri Faqih mengungkapkan, pelaku ekonomi kreatif masih kesulitan dapat akses modal. Alasannya, kebanyakan industri kreatif tidak punya aset, kecuali kekayaan intelektual.
Abdul menjelaskan, pelaku ekonomi kreatif selalu mendapat masalah ketika harus meyakinkan perbankan soal kemampuan mereka untuk mengembalikan pinjaman. "Belum selesai memang, tapi ada titik terang," ujarnya.
Selain RUU Ekonomi Kreatif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah juga fokus dalam penyelesaian empat rancangan aturan. Keempat rancangan undang-undang membahas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), jabatan hakim, pemasyarakatan, serta karantina.
DPR merencanakan kelima aturan mampu selesai dan bisa sah menjadi Undang-Undang sebelum masa sidang berakhir pada 25 Juli 2019.
(Baca: Ideosource: Pertimbangan Investasi Adalah Risiko, Bukan Keuntungan)