Holding Inalum Jajaki Kerja Sama Hilirisasi dengan Perusahaan Tiongkok

KATADATA/
Ilustrasi tambang Inalum. PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, tengah menjajaki peluang kerja sama dengan sejumlah perusahaan asal Tiongkok.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Sorta Tobing
17/5/2019, 09.22 WIB

Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor tambang, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, tengah menjajaki peluang kerja sama dengan sejumlah perusahaan asal Tiongkok. Hal itu dilakukan terkait kunjuangan Kementerian BUMN ke negeri tersebut untuk bertemu sejumlah pemimpin industri logam setempat.

Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pertemuan dengan sejumlah CEO Industri logam di Tiongkok tersebut untuk mendengarkan penjelasan tentang industri logam dan teknologinya. "Penjajakan berbagai peluang kerja sama ini sesuai dengan rencana strategis kami dan dapat membantu kami mempercepat terealisasinya hilirisasi tambang untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Budi melalui siaran pers, Kamis (16/5).

Pada kesempatan yang sama, Menteri BUMN Rini Soemarno menjelaskan, kunjungan selam tiga hari ke Tiongkok tersebut demi mempercepat terealisasinya hilirisasi tambang di Indonesia. Menurut dia, semakin tinggi nilai tambah produk tambang dalam negeri, semakin besar manfaat yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. "Saya optimistis, holding industri pertambangan akan mampu mewujudkan mandatnya dengan bantuan pihak-pihak terkait," kata Rini.

Di Beijing, rombongan Kementerian BUMN bertemu CEO The Metallurgical Corporation Of China (MCC). Pertemuan ini untuk mempelajari peluang kerja sama dalam industri Engineering, Procurement and Construction (EPC) dan tambang kobalt atau nikel. Mereka juga bertemun CEO Beijing Easpring Material Technology untuk mempelajari industri Electric Vehicle terutama dalam pembuatan Katoda.

Sementara di Inner Mongolia, rombongan menemui perusahaan gasifikasi batu bara, Dalu Chemicals. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mempelajari proses dan teknologi dalam gasifikasi batu bara, serta peluang kerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).

Kemudian di Shanghai, rombongan melakukan kunjungan lapangan dan pertemuan dengan Huayou. Perusahaan ini bergerak di bisnis manufaktur cobalt chemical, termasuk pemrosesan bahan baru kobalt dan penambangan. Mereka juga bertemu dengan perusahaan Contemporary Amperex Technology (CATL) Battery untuk mempelajari industri Electric Vehicle.

(Baca: Super Holding BUMN Mengikuti Jejak Temasek dan Khazanah)

Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk, PT Pertamina (Persero), dan Air Product and Chemicals Inc sepakat membentuk perusahaan patungan (joint venture) yang akan melakukan hilirisasi batu bara di Peranap, Riau. Tujuannya, untuk mengurangi impor elpiji yang masih sekitar 70% dari konsumsi sekitar 6,8 juta metrik ton.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, perusahaan patungan ini akan membuat pabrik menghasilkan 1,4 juta ton Dimethyl Ether (DME) per tahun dari sekitar 9,2 juta ton batu bara per tahun. Sedangkan cadangan batu bara milik Bukit Asam sebesar 3,3 miliar ton.

DME ini bisa menggantikan elpiji (Liquefied Petroleum Gas/LPG) yang selama ini mayoritas masih impor. "Cara itu bisa memperbaiki neraca perdagangan agar lebih baik. Selain itu, saya janji harganya lebih murah dari LPG," kata Nicke, di Jakarta, Rabu (16/1).

Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin menargetkan pabrik ini bisa beroperasi pada 2020. Sebelum beroperasi, Bukit Asam kini sedang melakukan studi kelayakan dan pemilihan teknologi. Setelah itu pembentukan perusahaan patungan. Lalu, bisa menentukan pembagian porsi saham dan nilai investasinya. “Kemudian bisa beroperasi," kata dia.

(Baca: Bukit Asam Siapkan Rp 5,34 Triliun untuk Investasi Lima Proyek)

Reporter: Ihya Ulum Aldin