Tarif Batas Atas Pesawat Turun, Garuda Pertimbangkan Tutup Rute Kecil

Donang Wahyu|KATADATA
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pun mempertimbangkan menutup rute kecil untuk efisiensi penerbangan setelah pemerintah menurunkan tarif batas atas tiket pesawat sebesar 12%-16%.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Sorta Tobing
15/5/2019, 09.17 WIB

Pemerintah menetapkan tarif batas atas tiket pesawat turun 12-16% untuk maskapai pelayanan penuh. Artinya, pendapatan maskapai full service airline akan menurun di tengah biaya operasional yang meningkat. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pun mempertimbangkan menutup rute kecil untuk efisiensi penerbangan.

"Kami juga melihat rute-rute yang tadinya rugi harus kami tutup atau kurangi, seperti remote area dan daerah yang permintaannya sedikit," kata Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia M Ikhsan Rosan kepada Katadata.co.id, Selasa (14/5) malam.

Ia menjelaskan, rute kecil tersebut memperoleh subsidi dari penerbangan yang tingkat okupansinya tinggi. Namun, untuk menekan biaya penerbangan, subsidi penerbangan rute kecil dapat dialihkan untuk kebutuhan operasional lainnya.

Penghapusan rute kecil menjadi salah satu opsi yang dipertimbangkan Garuda untuk menekan biaya pengeluaran. Sebab, Garuda tidak bisa menekan biaya pemeliharaan pesawat lantaran berkaitan dengan faktor keamanan penumang. Sementara, biaya gaji pegawai juga tidak bisa dipangkas untuk kesejahteraan karyawan.

(Baca: Harga Tiket Dikaji Turun, Garuda Incar Pemasukan dari Kargo dan Iklan)

Selain penghapusan rute kecil, Garuda akan menyesuaikan layanan yang diberikan kepada penumpang. Namun, ia belum merincikan perubahan layanan tersebut. "Paling diganti cost layanannya supaya Garuda bisa bertahan hidup. Artinya tetap full service, namun fasilitas tidak seperti sekarang," ujarnya.

Selain menekan biaya penerbangan, Garuda juga akan mengompensasi penerimaan melalui pendapatan di luar tiket, seperti iklan (advertising) dan mengembangkan bisnis kargo.

Ia mengakui, penurunan tarif batas atas dapat menekan kinerja Garuda. Sebab, harga avtur terus meningkat sehingga biaya produksi ikut terkerek. Namun kenaikan harga bahan bakar itu tidak diiringi dengan kenaikan tarif batas atas yang diatur oleh pemerintah sejak 2016.

(Baca: Harga Tiket Pesawat Mahal, Pemudik Aceh Pilih Singgah ke Kuala Lumpur)

Sementara, biaya leasing atau kredit pesawat terus meningkat. Biaya leasing tersebut mencakup 20% dari total pengeluaran maskapai. Di luar itu, masih ada biaya gaji pegawai dan pemeliharaan pesawat.

Mayoritas biaya yang dikeluarkan juga menggunakan kurs dolar sehingga rentan terdampak gejolak nilai tukar. Sementara, penerimaan dari tiket menggunakan kurs rupiah.

Karena itu, Ikhsan berharap pemerintah dapat melihat kondisi maskapai sesuai fakta di lapangan. "Garuda kan full service, seharusnya jangan ditekan seperti maskapai lain," ujarnya.

Sikap Garuda tersebut juga dibenarkan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah Redjadalam. Menurut dia, aturan penurunan tarif batas atas justru dapat menekan keuangan maskapai penerbangan.

(Baca: Menhub Janjikan Harga Tiket Pesawat Berbiaya Rendah Turun 50%)

"Dengan menekan tarif batas atas, sama saja dengan menekan industri penerbangan. Maskapai tertekan dari atas dan bawah, yaitu tekanan biaya dan penerimaan," kata dia.

Piter menilai tiket pesawat yang mahal bukan masalah kecil, melainkan masalah struktural. Hal ini tercermin dari kerugian yang dialami oleh Garuda sebagai pemimpin pasar dalam industri penerbangan.

Masalah tiket pesawat tak bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Menurut Piter, pemerintah perlu mengintegrasikan konektivitas transportasi di sejumlah wilayah, seperti ketersediaan jalan raya maupun kereta api.

Hal tersebut dapat menjadi solusi agar maskapai dapat melakukan efisiensi penerbangan, terutama di kaawasan terpencil. Selama ini, penerbangan untuk kawasan terpencil sangat mahal karena peminatnya rendah dan tidak efisien.

(Baca: Menpar Berharap Penurunan Tarif Batas Atas Mampu Dongkrak Pariwisata)

Reporter: Rizky Alika