Mahalnya harga tiket pesawat membuat pemudik lintas pulau harus putar otak untuk mudik ke kampung halaman. Sebut saja Salman, pria Aceh yang bekerja pegawai negeri sipil di Ambon, Maluku ini akhirnya memilih singgah ke negeri jiran, Malaysia.
Telah empat tahun merantau, ini adalah kali pertama Salman melakoni rute janggal, yakni Ambon-Jakarta-Kuala Lumpur-Aceh. Ia akan berangkat dari Ambon dengan Batik Air pada 25 Juni 2019, lalu bermalam di Jakarta.
Keesokan harinya, ia akan menumpang AirAsia ke Kuala Lumpur, baru melanjutkan penerbangan dengan maskapai yang sama ke Aceh. “Benar-benar hanya singgah dua jam di bandara,” ujarnya, Selasa (14/5).
Lalu, berapa yang dihematnya dengan rute tersebut? Menurutnya, total biaya yang dihabiskannya dari Ambon ke Aceh sekitar Rp 4,5 juta. Dia mengaku selisih bisa sampai Rp 1,3 juta daripada tiket tanpa transit di Kuala Lumpur.
Padahal tahun lalu, untuk mudik dengan rute Ambon-Jakarta-Aceh, Salman hanya merogoh kocek Rp 3,5 juta. Jadi, bisa dikata kenaikan biaya untuk mudik kali ini cukup signifikan, sehingga ia memilih untuk mengambil rute singgah di Kuala Lumpur terlebih dahulu.
(Baca: Tarif Batas Atas Tiket Turun, Perusahaan Penerbangan Terancam Tertekan)
Dwi Riyanto juga mengalami perubahan susana mudik lebaran ke kampung istrinya di Surabaya yang biasanya menggunakan pesawat. Mahalnya tiket pesawat membuat dia memikirkan moda transportasi lain.
Maskapai low cost carrier (LCC) atau maskapai penerbangan murah, seperti Lion Air biasanya mematok harga tiket terendah di kisaran Rp 750 ribu. Namun, untuk h-4 Lebaran harga tiket melonjak sampai Rp 1,3 juta atau Rp 2,7 juta untuk tiket pulang pergi. Harga ini ia katakan belum termasuk bagasi.
Jika berangkat dengan istri dan anaknya, Dwi harus merogoh minimal Rp 8,1 juta untuk tiket pesawat saja. Padahal biasanya budget untuk tiket pesawat tak sampai Rp 6 juta untuk tiga orang.
"Saya mudik selalu ketika hari Lebaran untuk penerbangan sore, hari-H itu harga paling murah dalam rentang bulan ramadan seharga Rp 600 ribu untuk satu orang," kata Dwi.
Karena tak mendapatkan tiket kereta api yang harganya Rp 750 ribu, Dwi memutuskan untuk mudik tahun ini mencoba melalui jalur darat dengan mengendarai mobil pribadi, sekaligus ingin menjajal jalan tol Trans Jawa.
(Baca: Tiket Pesawat Mahal, Angkasa Pura I Kehilangan 3,5 Juta Penumpang )
Kebijakan Tarif Tak Menyentuh Maskapai LCC
Berdasarkan tingginya harga tiket pesawat sejak awal tahun, Kementerian Perhubungan pun mengambil langkah penurunan tarif batas atas tiket pesawat sekitar 12% sampai 16%.
Namun, aturan yang bakal berlaku tanggal 15 Mei 2019 itu hanya menyasar full service airline (FSA) atau maskapai penerbangan berlayanan penuh seperti Garuda Indonesia dan Batik Air.
Pengamat Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman mempertanyakan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Alasannya, perubahan tarif batas atas seharusnya juga menyasar LCC atau maskapai penerbangan murah seperti Citilink dan Lion Air.
Ia pun meminta pemerintah memberikan pertimbangan yang jelas kepada bisnis maskapai di Indonesia. "Kalau satu turun semuanya harus turun, LCC juga, pemerintah seharusnya punya pertimbangan dalam asumsi ongkos tetapi sekarang tidak jelas," ujar Gerry.
Gerry menambahkan, perubahan tarif batas atas juga harus melalui perbaharuan bagi semua pihak. Menurut Gerry, sosialisasi kebijakan yang tidak tepat guna bakal membuat industri sulit untuk implementasi aturan. Padahal, kewajiban penurunan tarif batas atas mulai berlaku besok.
(Baca: Tarif Batas Atas Pesawat Turun 16% Hanya untuk Maskapai Layanan Penuh)
Apalagi, data Center for Aviation & Indonesia Directorate General of Civil Aviation mengungkapkan pangsa pasar penerbangan LCC lebih tinggi daripada penerbangan FSA. Porsi penerbangan LCC masing-masing Citilink tercatat sebesar 13%, Lion Air 34% dan AirAsia hanya 2%.
Alhasil, total penerbangan LCC mencapai 49%, lebih tinggi daripada porsi FSA yang sebesar 30%. Rinciannya, Garuda punya pasar 20% dan Batik Air sebesar 10%.
Dari segi jumlah penumpang, Indonesia menempati urutan kelima terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, Tiongkok, Indida dan Jepang. Data Kementerian Perhubungan, jumlah penumpang domestik di Indonesia mencapai 96,9 juta orang.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun tidak menjelaskan alasan lebih jauh kebijakan penurunan tarif batas atas hanya untuk maskapai FSA. Dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dia tidak menjawab pertanyaan wartawan tentang alasan penurunan tarif batas atas tidak menyasar maskapai LCC.
Budi hanya mengimbau maskapai LCC seperti Lion Air, Citilink dan AirAsia untuk memberikan ruang penurunan sebesar 50% dari tarif batas atas.
Padahal, dia mengaku imbauan penurunan harga tiket pesawat selama dua bulan terakhir tidak diikuti oleh maskapai penerbangan. "Biarkan ikut mekanisme pasar," ujar Budi.
(Baca: Menhub Imbau Maskapai Murah Turunkan Harga Tiket 50% dari Batas Atas)