Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa Serukan Lima Tuntutan ke Pemerintah

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Dua orang wanita meletakkan bunga saat aksi dukacita untuk pahlawan demokrasi di Jakarta, Minggu (28/4/2019). Aksi tersebut dilakukan untuk mengenang 225 orang pejuang demokrasi yang terdiri dari petugas KPPS/KPU serta anggota Polri yang gugur saat mengawal proses Pemilu 2019.
Penulis: Fahmi Ramadhan
9/5/2019, 20.03 WIB

Beberapa dokter yang menamakan diri sebagai Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa (KKPB) menyerukan tuntutan perlunya autopsi terhadap petugas Kelompok Penyelenggara Pemungut Suara (KPPS) yang meninggal dunia, serta mendorong dilakukannya penyelidikan terkait kemungkinan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Ketua Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa, dr. Bakta Iswara menyebut jatuhnya korban 500 lebih petugas KPPS dalam Pemilu 2019 sebagai hal yang tidak wajar, sehingga perlu ada penyelidikan dengan cara membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

"Selain itu, perlu ada autopsi sehingga penyebab meninggalnya 500 lebih petugas KPPS menjadi lebih terang," ujar Bakta di Jakarta, Kamis (9/5)..

Wakil Ketua Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa, dr. Zulkifli mengungkapkan bahwa pihaknya menyangsikan penyebab meninggalnya para petugas KPPS semata-mata karena kelelahan. Sebab, selama mereka bertugas sebagai dokter, tidak pernah sekalipun menemui kasus medis dimana seseorang meninggal karena kelelahan.

"Oleh karena itu, perlu dibentuk TPF yang independen serta perlu dilakukan autopsi, untuk menyelidiki sebab utamanya," ungkap Zulkifli.

(Baca: Cari Penyebab Kematian Petugas KPPS, KPU Sudah Lakukan Audit Medis)

Dalam barisan Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa juga turut hadir Mantan Ketua Komisi Nasional HAM Hafid Abbas. Hafid menilai meninggalnya 500 lebih petugas KPPS bisa dikategorikan pelanggaran HAM.

Pasalnya, jumlah petugas KPPS yang meninggal kian hari kian banyak, saat ini tercatat 544 petugas KPPS meninggal dunia dan ada 3.788 petugas yang sedang dalam kondisi sakit, dalam perawatan.

Ia pun khawatir akan jatuh korban lagi tiap harinya dari petugas KPPS yang saat ini sedang dalam perawatan dan hal ini ia anggap sebagai kegagalan negara dalam melindungi nyawa warga negaranya. Untuk soal ini, Hafid mengacu pada UUD 1945 Pasal 28, yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, pemenuhan, dan penegakan HAM adalah tanggung jawab negara.

Selain itu, ia juga khawatir kejadian yang menimpa ratusan petugas KPPS ini bakal berdampak buruk pada proses demokrasi Indonesia di masa mendatang, bila pemerintah tidak cepat tanggap menanganinya. Pasalnya, jika korban meninggal semakin banyak dan pemerintah ia anggap berpangku tangan saja, maka ke depan tak ada lagi orang yang mau menjadi petugas KPPS.

"Lantas bagaimana nasib demokrasi ke depan, bisa gelap proses demokrasi. Tidak ada orang yang mau mendaftar karena korbannya terlalu banyak," ungkap Hafid.

(Baca: KPU Persilakan Bentuk Tim Investigasi Penyebab Kematian Petugas KPPS)

Lima Tuntutan dan Kemungkinan Stop Proses Pemilu 2019

Karena didorong oleh keprihatinan terhadap jatuhnya korban jiwa dalam Pemilu 2019 ini, Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa dengan didampingi oleh Elza Syarief, selaku kuasa hukum, menyerukan lima tuntutan.

Pertama, meminta pemerintah untuk menyatakan hari berkabung nasional degan memasang bendera merah putih setengah tiang sampai 22 Mei mendatang. Kedua, menuntut dibentuknya TGPF yang independen.

Ketiga, mendorong Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk meneliti adanya dugaan pelanggaran HAM dan membawa kasus ini ke forum international, yakni ke Mahkamah Internasional dan Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan PBB).

Keempat, menuntut Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) mengeluarkan surat perintah autopsi kepada forensik se-Indonesia pada semua korban dan terakhir, menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab penuh kepada semua korban dengan memberikan santunan yang sesuai undang-undang.

Elza selaku kuasa hukum, sepakat dengan Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa, bahwasanya tidak mungkin lebih dari 500 orang petugas KPPS meninggal karena kelelahan. Kalaupun karena kelelahan, ia menganggap pemerintah harus bertanggung jawab penuh, karena tanpa sengaja melakukan suatu pembunuhan.

(Baca: Penyakit Jantung Dominasi Penyebab Kematian Petugas KPPS di Jakarta)

Sebab, menurutnya waktu ideal orang bekerja adalah delapan jam sehari. Nah, jika petugas KPPS bekerja jauh melebihi waktu ideal dan meninggal, ia menilai pemerintah lalai. "Pemerintah melakukan pembunuhan, secara tidak sengaja, sebab yang dalam pikiran hanya bagaimana target 22 Mei ini tercapai, tidak memikirkan nyawa," tegas Elza.

Untuk itu, Elza bersama dengan Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa menyerukan lima tuntutan di atas dan jika tidak dipenuhi, maka komunitas dokter dan dirinya akan menulis surat yang ditujukan untuk Presiden, Kapolri dan Kementerian Kesehatan supaya ada gerakan untuk mencegah timbulnya korban-korban lain.

Saran ekstrem justru keluar dari Zulkifli, yang sedari awal sanksi terhadap penjelasan bahwa kelelahan adalah penyebab meninggalnya petugas KPPS. Menurutnya, jika korban terus bertambah, maka jadwal Pemilu 2019 harus dihentikan, demi mengurus jatuhnya korban.

Ia berani menyerukan Pemilu harus dihentikan lantaran ia bersama kawan-kawan sesama dokter menduga korban meninggal akan semakin bertambah dan jatuhnya korban jiwa lebih banyak lagi merupakan skala prioritas yang lebih tinggi dibanding memaksakan melanjutkan proses Pemilu.

(Baca: KPU Mulai Proses Pemberian Dana Santunan untuk Petugas KPPS)

Reporter: Fahmi Ramadhan