Pengamat Nilai Menipisnya Barisan Prabowo Bukti Elit Politik Sportif

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo (kanan) menerima kunjungan Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Istana Negara, Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Penulis: Agung Jatmiko
9/5/2019, 04.01 WIB

Menipisnya barisan pendukung calon presiden (capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto agaknya terlihat terang. Terbukti dari beberapa peristiwa yang terjadi selama dua pekan terakhir, yang membuat heran publik.

Semua bermula dari perintah yang dikeluarkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada para pengurus partai dan kader Demokrat untuk tidak terlibat segala kegiatan yang bertentangan dengan konstitusi.

Perintah ini dikeluarkan sehari setelah penyelenggaraan Pemilu 2019, padahal pada malam harinya Prabowo mengumumkan kemenangannya dengan suara 62%. Pernyataan Prabowo saat itu lebih didasarkan pada responnya pada hasil hitung cepat, yang menunjukkan keunggulan pada lawannya, Joko Widodo (Jokowi).

Spekulasi semakin berkembang tatkala putra sulung SBY, yang sekaligus Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyambangi Istana Negara atas undangan Jokowi. Belum lagi soal pernyataan politisi Demokrat Andi Arief dan Ferdinand Hutahaean, yang mempertanyakan klaim kemenangan Prabowo.

Sebelum Demokrat, salah satu partai pendukung Prabowo, yakni PAN juga membuat publik berspekulasi koalisi pendukung Prabowo tengah retak. Dimulai dari bertemunya Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dengan Jokowi pada saat pelantikan Murad Ismail dan Barnabas Orno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku.

(Baca Juga: DPP PAN: Komitmen PAN dengan Prabowo Hanya Sampai Pilpres 2019)

Terkait dengan bertemunya sejumlah elit politik yang sebelumnya merupakan pendukung Prabowo, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego memandangnya sebagai sebuah sinyal pengakuan secara objektif kedua partai kepada hasil hitung dari lembaga-lembaga survei.

"Memang, menang-kalah ditentukan nanti tanggal 22 Mei, namun saya lihat kedua partai ini mengakui hasil hitung cepat, yang akhirnya sinkron dengan hasil Pilpres 2019 yang sejauh ini ditunjukkan oleh Situng KPU," ujar Indria, Rabu (8/5).

Terkait kemungkinan pecahnya koalisi, Indria menyebutnya sebagai hal yang biasa dalam dinamika politik. Ia pun menilai Ketua PAN Zulkifli Hasan paham betul bahwa klaim-klaim kemenangan dan kecurangan yang selama ini didengungkan oleh Prabowo tidak benar. Sehingga, sinyal merapatkan diri dipandang Indria sebagai tindakan yang sportif.

Meski demikian, Indria pun tidak menyalahkan Prabowo yang berulang kali mengutarakan adanya kecurangan, bahkan mengutarakannya ke media asing ada kecurangan pada Pemilu.

(Baca Juga: Anggap Prabowo Dipasok Data Tak Akurat, Demokrat Ragu Kemenangan 62%)

Menurutnya, hal tersebut merupakan hal yang biasa dilakukan oleh pihak yang kalah, namun ia yakin media, baik lokal maupun asing yang berlandaskan data tidak akan menelan mentah-mentah tudingan kecurangan.

"Biasa saja kalau Prabowo meneriakan kecurangan, tidak mungkin kalau media yang menggunakan data menelan mentah-mentah. Itu kan hanya psikologi orang kalah," ungkap Indria.

Meski barisan pendukung Prabowo makin menipis, namun Indria tetap merasa perlu menyampaikan bahwa tindakan-tindakan menentang atau mempertanyakan Pilpres 2019 hendaknya dilakukan dalam koridor-koridor yang telah ditetapkan.

Terkait spekulasi merapatnya dua partai pendukung Prabowo ke Jokowi, Kepala Staf Presiden Moeldoko menyatakan koalisi partai politik pendukung Jokowi terbuka bagi PAN dan Demokrat. Ia menyebut saat ini memang koalisi pendukung Jokowi tidak terdiri dari PAN dan Demokrat, namun dinamika politik yang terus bergulir bisa terbentuk formulasi baru pendukung pemerintahan.

Moeldoko juga menyebutkan Jokowi tidak menutup kemungkinan masuknya PAN dan Demokrat dalam pemerintahan selama lima tahun ke depan. Posisi ia sebut tidak selalu harus sebagai menteri, melainkan juga posisi lain, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR).

(Baca Juga: Istana Buka Peluang PAN dan Demokrat Masuk Kabinet Jokowi)