Isu kocok ulang (reshuffle) posisi menteri di Kabinet Kerja yang merebak ditanggapi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Menteri yang juga politisi Partai Hanura itu mengaku belum mendengar kabar wacana tersebut.
Wiranto meminta semua pihak menunggu penjelasan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia itu juga menjelaskan bahwa Jokowi memiliki penilaian atas capaian saat ini dan membutuhkan tim untuk mengejar target mendatang. "Ditunggu saja penjelasan Presiden," kata Wiranto, Senin (29/4).
(Baca: Ekonom Usul Jokowi Reshuffle Sejumlah Menteri Ekonomi)
Ia juga mengatakan simpang siur isu mengenai perombakan kabinet merupakan hal yang biasa sejak dulu. Karena itu, ketimbang menanyakan kepada dirinya, Wiranto meminta awak media menanyakan hal ini kepada Jokowi langsung. "Ini seperti tahun-tahun yang dulu juga," katanya.
Dikutip dari Tempo.co, Jokowi mempertimbangkan kocok ulang cabinet sebelum pengambilan sumpah sebagai Presiden RI. Bahkan Jokowi membuka peluang masuknya sosok berlatar partai politik untuk menjabat sebagai menteri. "Di partai politik juga ada yang profesional," katanya.
Jokowi Perlu Reshuffle Menteri Ekonomi
Hasil hitung cepat atau quick count Pilpres 2019 menunjukkan pasangan nomor urut 01 Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin sebagai pemenang. Pemenang Pilpres secara resmi akan diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei nanti.
(Baca: Real Count Mencapai 51,49%, Prabowo Kian Sulit Kejar Jokowi)
Menjelang pengumuman KPU, beberapa ekonom mengemukakan usulan reshuffle bila Jokowi terpilih kembali. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal berpendapat sejumlah menteri ekonomi perlu diganti karena kinerjanya sangat membebani pemerintahan.
Fithra merekomendasikan reshuffle tiga menteri yakni Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Ketiga sektor kementerian tersebut dianggap memiliki segudang masalah.
Di bawah Menteri Enggar terjadi defisit transaksi berjalan yang mencapai titik terburuknya dalam empat tahun terakhir pada 2018 lalu. Defisit transaksi berjalan disebabkan oleh memburuknya kinerja perdagangan nonmigas dan dibarengi dengan meningkatnya permintaan impor.
(Baca: Neraca Dagang Defisit, Pemerintah Tetap Optimistis Ekonomi Membaik)
Selain itu, masalah membayangi Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian yakni deindustrialisasi dan kisruh data pertanian. Persoalan kebijakan impor pangan yang tak dibarengi basis data yang jelas juga menyeret kementerian tersebut.