Ideosource: Pertimbangan Investasi Adalah Risiko, Bukan Keuntungan

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Andi S Boediman selaku Managing Partner Ideosource dalam acara Katadata Forum dengan tema \"Babak Baru Industri Kreatif di Era Digital\" du D\'Consulate Lounge, Menteng, Jakarta Pusat (23/4). Acara ini di juga hadiri oleh Wakil Kepala Bekraf Ricky Joseph , Founder Digital Happiness Rachmad Imron, dan Founder Pisang Goreng Madu Bu Nanik Nanik Soelistiowati .
Penulis: Michael Reily
Editor: Sorta Tobing
25/4/2019, 09.49 WIB

Perusahaan rintisan atau startup yang berharap mendapatkan pendanaan mesti melakukan strategi yang matang untuk keberlangsungan usahanya dalam jangka panjang. Sebab, perusahaan modal ventura seperti Ideosource mempertimbangkan risiko dalam investasi daripada keuntungan.

Managing Partner Ideosource Andi Boediman mengatakan, cara pandang investor berbeda daripada kreator. Investor tertarik dengan produk yang punya daya tahan unik untuk menghadapi potensi masalah di masa depan.

"Investor harus jadi kapitalis, tidak berpikir untung, tetapi melihat risiko. Saya tidak mau berinvestasi di produk yang kreatornya terkendala, produk tidak bisa lanjut," kata Andi dalam Katadata Forum: Babak Baru Era Indutri Kreatif di Jakarta, Selasa (23/4).

(Baca: Tiga Startup Lokal Beri Tips Bangun Perusahaan Agar Sukses )

Dia memberi contoh, investasi bakal lebih mudah kalau pertimbangannya hanya keuntungan. Contohnya, investasi di sebuah klinik yang mengandalkan seorang dokter bakal mendapatkan profit secara cepat. Namun, ketika satu-satunya dokter itu sakit sehingga tidak ada yang praktik, klinik akan rugi.

Contoh lainnya, Andi melanjutkan, bisnis katering sebagai jasa permintaan sesuai pesanan. Dia mengaku bisnis ini tidak ada daya tahan karena pelanggan bisa berpindah tempat karena pertimbangan persaingan produk. Pengusaha kuliner harus membuat satu produk yang tak mudah ditiru orang lain.

Pelaku usaha juga perlu memiliki formula untuk ekspansi bisnisnya. "Produk harus bisa ditingkatkan kuantitas produksinya, tambah pemasaran dan akses distribusinya lebih luas supaya menguntungkan," ujar Andi.

(Baca: Gim DreadOut 2 Berkolaborasi dengan Brand Tas Lokal Eiger)

Dalam investasi film, Ideosource juga menggunakan data dan statistik untuk meminimalkan risiko pendanaan. Dia menyebutkan daftar film yang tembus satu juta penonton di bioskop pada 2016 adalah 10 dari 120 film. Setahun kemudian, angkanya berubah menjadi  11 dari 120 film. Lalu, di  2018 ada 14 film yang tembus satu juta penonton dari 135 film. Alhasil, rasio keuntungan hanya 1:10.

Oleh karena itu, dia memikirkan investasi 1 dari 10 film secara matang dengan pertimbangan kreatif. "Saya investasi di satu film pasti rugi, makanya saya invetasi di 10 film dengan main statistic. Itu yang saya sebut manajemen risiko," katanya lagi.

Arah Ekonomi Digital

Sementara itu, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ricky Pesik mengungkapkan pemerintah telah menyiapkan pelatihan dan inkubasi untuk perusahaan rintisan. Program seperti Bekup untuk pematangan pelaku usaha sebelum memulai startup untuk memitigasi risiko kegagalan.

Lalu, ada lagi Go Startup Indonesia yang bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia. "Bukan hanya untuk keberlangsungan startup, tetapi kami juga mendorong perusahaan rintisan untuk IPO (Inital Public Offering)," ujar Ricky.

(Baca: Bekraf Minta Kenaikan Anggaran di Tahun 2020)

Terakhir, dia juga telah meluncurkan Katapel, aplikasi terbaru untuk memonetisasikan hak kekayaan intelektual. Menurut dia, arah ekonomi digital akan menuju pada optimalisasi lisensi produk yang bisa berkembang menjadi berbagai macam produk serta lewat berbagai subsektor.

Contoh terbaru seperti PT Digital Semantika Indonesia (Digital Happiness), pengembang gim horor DreadOut 2, bakal kolaborasi bersama beberapa produk lokal untuk pengembangan hak kekayaan intelektual. Salah satu nama yang bakal menjadi mitranya adalah merek tas lokal Eiger.

Founder Digital Happiness Rachmad Imron menyatakan, kerja sama itu untuk memunculkan identitas dalam gim. Eiger adalah produk di bawah bendera PT. Eigerindo Multi Produk Industri. Keduanya merupakan perusahaan yang berdiri di Bandung, Jawa Barat.

(Baca: Disuntik Modal Pendiri Tencent, Fintech Asal Singapura Masuk Indonesia)

"Di gim DreadOut 2, tas karakter utama bakal memakai merek lokal Eiger, jadi bentuknya in-game-sponsorship," kata Imron.

Dia menjelaskan, perusahaan video gim harus bisa memperhatikan hak kekayaan intelektual untuk pengembangan kapitalisasi pendapatan lebih besar lagi. Karena itu, konten lokal harus menjadi keunikan yang mampu mendapatkan penghasilan tambahan.

Menurut Imron, dia juga menggali kekayaan budaya di Bandung sebagai latar tempat gim. Contohnya, gim horor itu akan memungkinkan pemain berburu hantu di Jalan Braga yang terkenal di Bandung.

(Baca: Coca-Cola dan Modal Ventura Australia Rilis Program Akselerasi Startup)

Reporter: Michael Reily