Dalam hari yang bersamaan, kemarin ada dua perkembangan kasus dugaan korupsi proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang Riau 1. Pertama, Pengadilan Tipikor memvonis Idrus Marham bersalah. Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir sebagai tersangka.
Menurut hakim Tindak Pidana Korupsi Lucas Prakoso, perkara ini bermula pada 2015 saat Johannes Budisutrisno Kotjo mengetahui rencana pembangunan IPP PLTU Mulut Tambang Riau 1. Pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd ini kemudian mencari investor.
Lalu, didapatlah perusahaan Cina yakni China Huadian Engineering Company Limited (CHEC) Ltd dengan kesepakatan bila proyek berjalan maka Johannes akan mendapat fee 2,5 persen atau sekitar US$ 25 juta dari perkiraan nilai proyek US$ 900 juta.
(Baca: Dirut PLN Sofyan Basir Jadi Tersangka Kasus Suap Proyek PLTU Riau-1)
Berbarengan dengan itu, Rudy Herlambang, Direktur PT Samantaka Batubara, anak usaha Blackgold, mengajukan permohonan proyek itu kepada PLN pada 1 Oktober 2015. Dalam permohonan pengajuan proyek IPP PLTU berkapasitas 2 x 300 MW di Peranap, Indragiri Hulu, Riau, ini dia memohon PLN memasukan proyek ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL).
Setelah beberapa bulan tidak ada tanggapan, Johannes menemui Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR saat itu Setya Novanto untuk meminta bantuan agar dipertemukan dengan PLN. Setya Novanto lalu memperkenalkan Johannes dengan Eni Maulani Saragih. Pada kesempatan itu, Setya menyampaikan kepada Eni agar membantu, dan Johannes akan memberikan fee yang kemudian disanggupi oleh Eni.
Pada 2016, Eni mengajak Dirut PLN Sofyan Basir yang didampingi Direktur Pengadan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso menemui Setnov, demikian Setya biasa disapa, di rumahnya. Berganti tahun, Eni memperkenalkan Johannes sebagai pengusaha yang tertarik menjadi investor PLTU RIAU 1 kepada Sofyan Basir di kantor PLN. Sofyan minta agar penawaran dikoordinasikan dengan Supangkat Iwan Santoso.
Pada 29 Maret 2017, IPP PLTU Paranap pun masuk RUPTL PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Perpres Nomor 4 Tahun 2016 ditunjuk melaksanakan sembilan proyek IPP dengan wajib memilik 51 persen saham.
Lalu, sepanjang 2017 terjadi beberapa pertemuan antara Johannes, Eni Maulani, dan Sofyan Basir untuk mendapat proyek PLTU MT RIAU 1 dengan dengan cara penunjukkan langsung dengan msyaratkan PT PJB harus memiliki saham perusahaan konsorsium minimal 51 persen.
(Baca: KPK: Empat Peran Sofyan Basir Terkait Proyek PLTU Riau 1)
Setelah Setnov ditahan KPK dalam kasus KTP elektronik, Eni Maulani melaporkan perkembangan proyek kepada Idrus Marham sebagai Plt Ketua Umum Golkar saat itu. Eni menyampaikan kepada Idrus akan mendapat fee untuk mengawal proyek. Pada 25 September 2017, dia dengan sepengetahuan Idrus mengirim pesan whatsapp (WA) yang meminta uang sejumlah Sing$ 400 ribu dari Johannes.
Pada 15 Desember 2017, Eni pun mengajak Idrus menemui Johannes. Dalam pertemuan itu Johannes menyampaikan fee akan diberikan ke Eni jika proyek PLTU RIAU 1 berhasil terlaksana. Eni selaku Bendahara Musyawarah Nasional Luar Biasa (munaslub) Golkar pun meminta sejumlah uang kepada Johannes dengan alasan untuk perhelatan acara tersebut.
Uang Rp 4 miliar lalu diberikan kepada Eni secara bertahap melalui Tahta Maharaya di kantor Johannes yaitu pada 18 Desember 2017 sejumlah Rp 2 miliar dan dengan jumlah yang sama pada 14 Maret 2018. Pada 27 Mei 2018, Eni mengirimkan WA lagi untuk meminta Rp 10 miliar guna keperluan pilkada suami Eni Maulani, Muhammad Al, yang mencalonkan diri menjadi Bupati Temanggung -Khadziq akhirnya terpilih sebagai bupati 2018-2023 bersama Heru Ibnu Wibowo.
(Baca: Idrus Marham Dihukum 3 Tahun, Seluruh Pembelaannya Ditolak Hakim)
Namun, Johannes menolak dengan mengatakan “Saat ini cashflow lagi seret”. Pada 5 Juni 2018 Eni lalu mengajak Idrus menemui Johannes di kantornya di mana Idrus meminta Johannes memenuhi permintaan Eni dengan mengatakan “Tolong adik saya ini dibantu ... buat pilkada”.
Sofyan Basir pada 6 Juni 2018 akhirnya sepakat mendorong agar PLN dan PT PJBI menadantangani amandemen perjanjian konsorsium dengan catatan CHEC sepakat waktu pengendalian JVC selama 15 tahun setelah COD. Sehingga, pada 7 Juni 2018 di kantor PLN ditandatangani amandemen perjanjian konsorsium antara PT PJB, CHEC Ltd, dan BNR Ltd untuk pengelolaan perusahaan proyek dalam bentuk pengendalian bersama dan tunduk kepada hal khusus.
Pada 8 Juni 2018, Eni kembali meminta Idrus menghubungi Johannes agar Kotjo memberikan uang kepada Eni. Setelah mendapat pesan WA tersebut, Johannes lalu memberikan uang Rp 250 juta kepada Eni malalui Tahta Maharaya. Pada 3 Juli 2018, Eni melaporkan ke Sofyan bahwa Johannes berhasil berkoordinasi dengan CHEC. Eni juga melaporkan ke Idrus dan pembagian fee setelah proses kesepakatan proyek PLTU MT RIAU 1 selesai.
Pemberian uang ke Eni baru diberikan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp 500 juta melalui Audrey Ratna Justianty. Sesaat setelah Audrey menyerahkan uang itu kepada Tahta, petugas KPK mengamankan Johannes Kotjo, Eni Maulani, Tahta dan Audrey.
“Terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo memberikan uang kepada anggota DPR Eni Maulani Saragih dengan maksud untuk mempercepat mendapat proyek IPP PLTU Riau 1, di mana terdakwa punya dua kapasitas yaitu pertama sebagai pemilik PT BNR dan PT Samantaka Batubara dan kedua sebagai agen yang ditunjuk CHEC Ltd,” kata hakim.
(Baca: Terkait Status Tersangka Dirut PLN, Jokowi Berikan Kewenangan Pada KPK)
Atas vonis dua tahun delapan bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan ini, Johannes langsung menyatakan menerima. “Seperti dalam pledoi, saya menerima putusan ini, saya tidak mau banding,” kata Johannes usai putusan pada Kamis, 13 Desember 2018.
Dalam persidangan selanjutanya, hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair enam bulan kurungan kepada Eni Saragih pada Jumat, 1 Maret 2019. “Yang mulia, saya ucapkan terima kasih. Saya ikhlas menerima semua keputusan yang mulia,” kata Eni kepada majelis hakim.
Kemarin, majelis hakim Pengadilan Tipikor memvonis Idrus Marham bersalah dalam kasus suap proyek PLTU Riau 1 dengan hukuman tiga tahun penjara. Hakim menolak seluruh pembelaan Idrus yang tertuang dalam pledoi atau nota pembelaan. “Kami akan memanfaatkan waktu yang diberikan UU kepada saya selama tujuh hari dan pada saatnya saya akan menentukan sikap lebih lanjut”, kata Idrus usai persidangan.
Pada hari yang sama, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir sebagai tersangka kasus tersebut. KPK menduga Sofyan bersama-sama atau membantu Eni Maulani Saragih dan kawan-kawannya menerima hadiah atau janji dari Johannes Kotjo. Sofyan juga diduga menerima janji dengan mendapat bagian sama besar dari jatah Eni dan Idrus Marham.