Hak Kekayaan Intelektual Jadi Kunci Sukses Industri Kreatif

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Suasana dalam acara Katadata Forum dengan tema "Babak Baru Industri Kreatif di Era Digital" du D'Consulate Lounge, Menteng, Jakarta Pusat (23/4). Acara ini di hadiri oleh Ricky Joseph selaku Wakil kepala Bekraf, Rachmad Imron selaju Founder Digital Happiness, Andi S. Boediman selaku managing Partner Ideosource dan Nanik Soelistiowati selaku Founder Pisang Goreng Madu Bu Nanik.
Penulis: Michael Reily
23/4/2019, 22.39 WIB

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyatakan bahwa monetisasi hak kekayaan intelektual (HAKI) menjadi kunci kesuksesan industri kreatif. Alasannya, pelaku usaha masih kehilangan potensi ekonomi serta efek pengganda (multiplier effect) dalam pengembangan industri kreatif dari HAKI yang tidak dimonetisasi.

Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik menjelaskan hak paten serta royalti bisa menjadi sumber peningkatan penghasilan. Dia mencontohkan, Pisang Goreng Bu Nanik bisa mendaftarkan resep atau musisi bisa memasang royalti untuk setiap lagu yang diputar di publik.

"Itu sebuah tantangan besar ekonomi kreatif nasional, tugas Bekraf melakukan terobosan kebijakan yang bisa mengkapitalisasi ekonomi sektor kreatif," kata Ricky dalam acara Katadata Forum: "Babak Baru Industri Kreatif di Era Digital" di Jakarta, Selasa (23/4).

Dia menjelaskan potensi Indonesia mengandalkan ekonomi kreatif sangat besar terutama karena pertumbuhan ekonomi yang baik. Belum lagi populasi penduduk yang mencapai 265 juta orang adalah pasar yang besar. Kemudian, tingkat pendapatan kelas menengah yang naik juga akan mendongkrak konsumsi masyarakat.

(Baca: Bekraf Siap Gelontorkan Dana untuk 26 Ruang Kreatif di 2019)

Ricky menambahkan, sektor ekonomi kreatif nasional akan menjadi tiga besar penyumbang produk domestik bruto (PDB) nasional terbesar. "Dunia global juga bergerak ke arah sana, perubahan teknologi juga meluaskan cakupan ekonomi kreatif," ujarnya.

Pendiri Pisang Goreng Madu Bu Nanik, Nanik Soelstiowati, mengakui hal itu. Sejak 2007, produk pisang goreng madu andalannya masih mendapatkan penjualan sekitar 100-300 potong. Namun, peningkatan hingga 60% terjadi sejak teknologi pesan-antar mulai menjamur pada 2015.

Dia menjelaskan, pemilihan produk pisang goreng mengubah produk yang dia tawarkan dari katering berdasarkan pesanan. "Saya merintis pisang goreng karena ingin memajukan produk sendiri, daripada harus mengikuti kemauan orang supaya punya nilai jual," kata Nanik.

Menurutnya, teknologi menyelesaikan permasalahan seperti akses pemasaran. Dia mengaku promosi sewaktu digitalisasi belum jadi acuan masyarakat adalah melalui skema rumah ke rumah atau selebaran yang diselipkan ke mobil yang parkir di tempat ibadah dekat tempatnya berjualan di Tanjung Duren, Jakarta Barat.

(Baca: Film Dokumenter Diary of Cattle Tayang Perdana di Swiss)

Strategi Memonetisasi HAKI

Founder Digital Happiness Rachmad Imron yang mengembangkan gim DreadOut mengungkapkan kekayaan intelektual sangat penting dalam industri kreatif. Sebab, potensinya bisa membesar dalam segala format. Contohnya, ketika DreadOut juga berkembang menjadi sebuah film.

Imron mengungkapkan, masyarakat global mengenal kekayaan intelektual seperti Mickey Mouse atau Star Wars dari Amerika Serikat (AS). Namun, pelaku usaha kreatif harus melakukan inovasi dalam membuat produk yang bakal berkembang lebih luas.

DreadOut memilih jalan cerita gim untuk melawan hantu-hantu lokal. "Istilahnya ekspor kuntilanak ke luar negeri, kami mencoba gali konten lokal jadi sebuah keunikan video gim," ujar Imron.

Meski begitu, permasalahan dalam pengembangan industri gim adalah akses modal. Oleh karena itu, Digital Happiness melakukan pengumpulan dana dari masyarakat lewat situs Indiegogo untuk menciptakan DreadOut. Hasilnya, modal sebesar Rp 300 juta terpenuhi dalam sebulan dan menghasilkan uang sekitar Rp 2 miliar.

(Baca: Putaran Bisnis Esports Rp 9,8 Triliun, Peran Gim Lokal Masih Minim)

Setelah itu, kolaborasi gim ke dalam film jadi pilihan Digital Happiness. Imron mengaku jumlah penonton yang tayang tahun 2018 lalu itu mencapai 800 ribu penonton. Dia menegaskan capaian hampir satu juta penonton adalah keberhasilan penjualan produk sebagai kekayaan intelektual.

Managing Partner Ideosource Andi Budiman mengungkapkan Indonesia masih memiliki kendala akses untuk pengembangan padahal kapabilitasnya sangat besar. Namun, investor masih memilih usaha kreatif yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga berkelanjutan.

Andi menjelaskan, bisnis makanan sangat mudah ditiru banyak orang, sehingga perlu pendaftaran hak cipta untuk pendaftaran merek. "Sebagai nilai, itu luar biasa, berapapun saya kasih kalau keinginan untuk berkembang pelaku usahanya besar," katanya.

Dia mencontohkan, Bakmi GM dan Sate Khas Senayan berhasil karena mampu mereplikasi model bisnisnya sampai ratusan cabang. Untuk industri berdasarkan ide seperti gim, pengembang harus memiliki jalur distribusi global yang mampu menghasilkan pendapatan.

Ideosource juga fokus melakukan investasi untuk pembuatan film lokal. Selain potensi penonton yang besar, Andi juga mencari konsistensi dan integritas industri film dalam produk-produk yang bakal berkelanjutan.

(Baca: Industri Kreatif dalam Bidikan Para Pengusung Modal)

Reporter: Michael Reily