KPU Sebut Kisruh Pemilu di Luar Negeri karena Pemilih Khusus Membludak

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Petugas PPSU dan PPK tengah membereskan logistik Pemilu 2019 di Kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat (15/4).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Sorta Tobing
15/4/2019, 20.55 WIB

Proses Pemilu 2019 di luar negeri tak seluruhnya berjalan mulus. Beberapa wilayah mengalami kendala, hingga menimbulkan kericuhan. Masalah ini muncul karena banyak pemilih yang tak bisa mengunakan haknya karena surat suara habis atau Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditutup. Hal itu terjadi di Sydney, Australia; Osaka, Jepang; Hong Kong; dan Malaysia.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid mengatakan, akar persoalan tersebut adalah membludaknya jumlah pemilih yang masuk Daftar Pemilih Khusus (DPK) ketika hari pemungutan suara. Mengacu data BP2TKI, Pramono memperkirakan jumlah warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri sebesar 4-6 juta. 

Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berada di luar negeri hanya 2 juta. Artinya, ada 2-4 juta pemilih yang masuk kategori DPK. Tapi KPU hanya menyiapkan surat suara sejumlah DPT ditambahkan 2% cadangan. "Begitu DPK-nya membludak, pasti tidak tertangani," kata Pramono di kantornya, Jakarta, Senin (15/4).

(Baca: WNI Tak Bisa Pakai Hak Pilih di Sydney, KPU Buka Opsi Pemilu Ulang)

Pramono mengatakan, membludaknya DPK karena antusiasme untuk ikut Pemilu 2019 baru muncul jelang hari pemungutan suara. Sebelumnya, para pemilih khusus itu pasif dalam mengikuti berbagai sosialisasi yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN). 

Padahal, sosialisasi dam pemutakhiran data telah dilakukan PPLN sejak Desember 2018 lalu. "Pasti mereka jadi tidak terfasilitasi," kata Pramono. 

Pramono menilai panitia pasti kaget dengan jumlah DPK yang cukup besar pada pesta demokrasi tahun ini. Pada Pemilu 2014, jumlah DPK hanya 23% dari DPT. 

(Baca: Tim Kampanye Jokowi Kritik Penyelenggara Pemilu Luar Negeri)

Pramono pun menilai PPLN kurang komunikatif dengan para pemilih sehingga tak bisa memberikan penjelasan secara baik kepada mereka. "Atau mungkin negosisasi ke pemilik sewa (lokasi TPS) kurang maksimal,” katanya. Harusnya TPS ditutup sampai semua orang bisa memilih, bukan saat waktu sewanya habis.

Kendala Pemilu 2019 di luar negeri juga disebabkan terbatasnya wilayah yuridiksi Indonesia di luar negeri. Hal itu terjadi di Malaysia. Di sana PPLN hanya bisa menyediakan tiga tempat untuk pemungutan suara, yakni di KBRI Kuala Lumpur, Wisma Duta, dan Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL). 

Padahal, jumlah DPT di Malaysia mencapai 500 ribu orang. "Belum lagi yang DPK, total warga kita di Malaysia bisa kan bisa sampai 1 juta orang," kata dia.

(Baca: Soal Pemilu Ulang di Sydney, KPU Tunggu Keterangan PPLN dan Bawaslu)

KPU saat ini membuka opsi Pemilu susulan untuk bisa memfasilitasi WNI di luar negeri yang belum menggunakan hak pilihnya. Hanya saja, KPU memerlukan adanya rekomendasi dari Bawaslu untuk bisa melakukan hal itu. 

Selain itu, Pemilu susulan hanya dapat dilakukan bagi mereka yang telah terdaftar sebagai DPK. "Pemungutan ulang susulan juga hanya berlaku sepanjang surat suara masih ada di situ," katanya.

Reporter: Dimas Jarot Bayu