Ramainya Peserta Kampanye Tak Bisa Jadi Alat Ukur Kemenangan Pilpres

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo (kanan) bersama Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kiri) menyapa pendukung saat kampanye akbar di Solo, Jawa Tengah, Selasa (9/4/2019).Kampanye Jokowi tampak dipenuhi para pendukungnya.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
12/4/2019, 00.00 WIB

Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto menilai ramainya kampanye terbuka tak bisa dijadikan alat ukur untuk menentukan kemenangan kandidat dalam Pilpres 2019. Sebab, belum tentu orang yang tidak datang ke lokasi kampanye terbuka, tidak  memilih kandidat.

Arif mengatakan, ketidakhadiran seseorang dalam kampanye terbuka bisa saja dikarenakan faktor kesibukan. Terlebih banyak agenda kampanye terbuka yang dilakukan di hari kerja, bukan hari libur.

Selain itu, ada pula orang-orang yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi kampanye. "Sehingga tidak semua orang bisa datang ke situ," kata Arif di Jakarta, Kamis (11/4).

(Baca: Ancaman People Power Potensi Jadi Blunder bagi Prabowo-Sandiaga)

Lebih lanjut, Arif menilai segmen yang datang ke kampanye terbuka terbatas. Biasanya, orang-orang yang datang ke kampanye terbuka memiliki militansi lebih besar kepada kandidat yang didukung. 

Meski demikian, tingginya militansi tersebut tak bisa dikuantifikasikan sebagai bentuk dukungan suara. "Itu tidak lantas secara otomatis bisa dikonversi ke elektabilitas dan dukungan suara pada 17 April 2019 nanti," kata Arif.

Pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti juga menilai ramainya kampanye tak bisa menjadi alat ukur kemenangan kandidat tertentu dalam Pilpres 2019. Sebab, tidak ada metodologi yang bisa mengkonversi ramainya kampanye sebagai elektabilitas kandidat tertentu. " Tidak bisa ramainya kampanye itu sebagai alat ukur menilai elektabilitas," kata dia.

Karena itu menurutnya, cara paling efektif untuk mengukur elektabilitas menggunakan survei. Ray mengatakan, saat ini sudah banyak lembaga survei yang kredibel dan terpercaya untuk mengukur elektabilitas.

Mereka pun secara terbuka menjelaskan metodologi survei kepada publik. "Mereka juga punya asosiasi di mana mereka akan pertanggungjawabkan secara ilmiah, akademis, dan moral hasil survei mereka. Jadi kalau saya lebih percaya hasil survei dibanding klaim (ramainya kampanye)," ujanya.

(Baca: Kampanye Ramai, BPN Percayai Survei yang Menangkan Prabowo)

Sebelumnya, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meyakini kredibilitas beberapa lembaga survei yang memenangkan pasangan calon nomor urut 02 dalam Pilpres 2019. Di antara lembaga survei tersebut, ada Rumah Demokrasi, New Indonesia, Bimata Politica, Indonesia Development Monitoring (IDM), LKPI, NCID.

Direktur Kampanye BPN Prabowo-Sandiaga, Sugiono percaya atas berbagai hasil lembaga survei tersebut karena sejalan dengan aktivitas kampanye Prabowo-Sandiaga. Menurutnya, kampanye Prabowo-Sandiaga selama ini selalu ramai.

Masyarakat disebutnya datang secara sukarela dan tanpa dimobilisasi oleh tim kampanye. Tak hanya itu, mereka juga rela memberikan sumbangan kepada Prabowo-Sandiaga ketika melakukan kampanye.

(Baca: Survei Voxpol: Kampanye Keagamaan Lebih Efektif Meraup Suara)

Dia pun lantas membandingkan kampanye Prabowo-Sandiaga dengan yang dlakukan Jokowi-Ma'ruf. Menurutnya, kampanye Jokowi-Ma'ruf jauh lebih sepi. Ia pun mencontohkan dokumentasi foto dan video yang ia miliki. Dia menilai Stadion Sriwedari tampak tak penuh oleh massa ketika Jokowi sedang berkampanye.

Reporter: Dimas Jarot Bayu