Keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 mengaku belum dapat kepastian mengenai pembayaran ganti rugi bagi ahli waris. Pasalnya, pihak Lion Air justru memberikan syarat kepada keluarga korban, yakni harus menandatangani Release and Discharge (R&D).
Apabila keluarga meneken R&D, maka keluarga wajib melepaskan hak menuntut pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap kecelakaan yang menewaskan 181 penumpang serta 6 awak kabin dan 2 pilot. Syarat R&D yang diajukan oleh Lion Air ini membuat beberapa keluarga menyampaikan keberatannya melalui konferensi pers, Senin (8/4).
Salah satu perwakilan keluarga yakni Merdiati Agustin mengatakan beberapa pihak yang dilarang dituntut adalah Lion Air, Boeing, hingga 200 entitas dan anak usaha lain terkait penerbangan tersebut. Menurutnya, hal ini kontras dari permintaan maaf bos Boeing yakni Dennis Muilenburg beberapa hari lalu. Ia pun menyebut syarat R&D yang diajukan Lion Air merupakan syarat yang tidak masuk akal.
(Baca: Lion Air Hentikan Sementara Operasional 10 Pesawat Boeing 737 MAX 8)
Menurutnya, ganti rugi sebesar Rp 1,25 miliar diperlukan untuk menyambung hidup pasca sang suami, Eka Suganda yang meninggal dunia dalam kecelakaan nahas tersebut. Oleh sebab itu, dia meminta Lion Air tidak mempersulit keluarga dengan persyaratan semacam itu. "Kami kehilangan namun dipersulit," ujarnya dalam konferensi pers.
Sementara, kuasa hukum salah satu kelompok keluarga korban yakni Harry Ponto, mengungkapkan peraturan yang ada mewajibkan Lion Air membayar kerugian kepada keluarga tanpa kecuali. Selain itu, ada pula aturan yang tidak menghilangkan hak ahli waris menuntut ke pengadilan.
Dalam Pasal 3(a) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, menyebutkan bahwa penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungan dengan pengangkutan udara diberikan ganti rugi sebesar Rp 1,25 miliar.
Terkait dengan kemungkinan ahli waris mengajukan tuntutan kepada maskapai penerbangan, ditegaskan melalui Pasal 23, yang menyebutkan bahwa besarnya ganti kerugian tidak menutup kesempatan kepada penumpang atau ahli waris untuk menuntut pengangkut atau maskapai ke pengadilan.
"Ini seharusnya tidak menjadi alasan tak ada upaya menunda pembayaran ganti rugi oleh maskapai Lion Air," ujar Harry yang menjadi kuasa hukum 11 keluarga korban.
(Baca: Lion Air Negosiasi Ulang Pembelian 222 Unit Boeing 737 Max)
Bukan hanya Lion Air, kejadian kecelakaan Ethiopian Airlines ET-302 membuka peluang keluarga korban menuntut Boeing selaku pabrikan B-737 800 MAX. Harry yang merupakan pengacara Kantor Advokat Kailimang & Ponto akan menggugat bersama sejumlah kantor pengacara Amerika Serikat (AS).
Kelompok penggugat tersebut terdiri dari Brian Kabateck dari Kabateck LLP, Steven Hart dari Hart McLaughlin&Eldridge, Sanjiv Singh dari kantor Sanjiv R. Singh, hingga Michael Indrajana dari Indrajana Law Group. "Melihat kejadian (jatuhnya) Ethiopian Airline proses berjalan tapi diusahakan jadi satu," kata Michael Indrajana.