Tanggal 30 Maret 1950 yang merupakan hari pertama pengambilan gambar film 'Darah dan Doa' karya Usmar Ismail diperingati sebagai Hari Film Nasional. Kini, 69 tahun kemudian, film Indonesia semakin berkembang.
Produksi film kini tak hanya melibatkan sineas Jakarta. Di daerah-daerah pun produksi film lokal mulai tumbuh. Pada 2018 lalu, jumlah penonton bioskop mencapai 50 juta orang.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, Hari Film Nasional sebagai perayaan peringatan tonggak kreativitas sebagai penanda tuan rumah di negeri sendiri. "Semakin banyak film Indonesia yang dapat penghargaan menunjukkan kualitas film nasional terus meningkat," kata Kalla di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurutnya, industri film Tanah Air belum bisa menandingi Hollywood milik Amerika Serikat atau Bollywood kepunyaan India. Namun, dia mengungkapkan potensi pengembangan industri sinema sangat besar. Apalagi, film berfungsi sebagai hiburan, pendidikan, serta bisnis.
(Baca: Layar Berkurang, Pertumbuhan Jumlah Penonton Dilan 1991 Melambat)
Tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1999. Sebelumnya, JB Kristanto dalam buku Katalog Film Indonesia 1926 - 2017 menjelaskan Dewan Film Indonesia membuat keputusan kerja pada 11 Oktober 1962 untuk menetapkan 'Darah dan Doa' sebagai pembuatan film nasional pertama dan Usmar Ismail - beserta Djamaluddin Malik - menjadi Bapak Perfilman Nasional.
Nama-nama pemeran 'Darah dan Doa' adalah Del Juazar, Farida (Lily Honduran), Aedy Moward, Sutjipto, Awal, Johanna, dan Suzanna. Pengakuan film sebagai Hari Film Nasional mengedepankan produksi pertama karya anak bangsa, meski film cerita pertama yang dibuat di Indonesia adalah 'Loetoeng Kasaroeng' tahun 1926.
Cerita asli Indonesia 'Loetoeng Kasaroeng' sebenarnya menampilkan legenda terkenal dari Jawa Barat yang berisi nasihat untuk tidak memandang sesuatu dari tampilan fisiknya saja. Namun, film bisu warna hitam putih itu merupakan karya rupah produksi Java Film Co dan sutradara L. Heuveldorp.
Kristanto memaparkan, pemerintah dan pers mematronkan paham bahwa industri film Indonesia pada pertengahan 1990-an sedang dalam periode mati suri. Namun, produksi film menunjukkan kenyataan yang sebaliknya. Data produksi film Lembaga Sensor Film (LSF), tahun 1994 ada 26 judul, 1995 terdapat 22 judul, 1996 meningkat jadi 34 film, dan 1997 sebanyak 32 film.
(Baca: Hari Teater Sedunia, Taman Budaya Yogyakarta Gelar Sayembara)
Dia menjelaskan krisis ekonomi yang berlanjut krisis sosial-politik berujung pada jatuhnya Soeharto dari jabatan presiden membuat penyakit seperti korupsi berlanjut. "Akibatnya sangat terasa pada dunia produksi film, karena produksi tahun 1998 dan tahun 1999 hanya 4 film," tulis Kristanto.
Setelah itu, pada tahun 2000, produksi film sebanyak 11 judul dan tahun 2001 turun lagi menjadi 3 judul. Meski begitu, produksi film nasional bangkit mulai tahun 2002 dengan produksi 14 film, 2003 sebanyak 15 film, serta 2004 naik dua kali lipat hingga 31 film. Data produksi film itu pun terus bertambah hingga sekarang.
Kristanto menambahkan, sejak produksi pertama tahun 1926, produksi film Indonesia sebenarnya tak pernah mati. Produksi hanya benar-benar berhenti hanya pada pada tahun 1945 sampai 1947. Bahkan, jumlah produksi periode 1971-1991 berkisar antara 50-133 judul film setiap tahun. Sayangnya, rentang produksi turun menjadi 3-30 judul film dalam setahun pada tahun 1992 sampai 2003.
Menurutnya, pada tahun-tahun yang sulit, sebenarnya tetap ada usaha untuk produksi film. "Yang paling penting lagi: selalu ada usaha mencari peluang baik dalam bisnis maupun dalam cara upca baru, yang satu sama lain bisa saling berkaitan," bunyi kutipan dalam buku Kristanto.
(Baca: Starvision dan Falcon Pictures Angkat Kehidupan Buya Hamka dalam Film)