Badan Restorasi Gambut (BRG) terus melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan melalui restorasi gambut. Restorasi dilakukan dengan kegiatan pembasahan kembali (rewetting), revegetasi, revitalisasi sosial-ekonomi masyarakat, serta Program Desa Peduli Gambut.
Data BRG menyebutkan, di Provinsi Riau misalnya, jumlah titik panas pada 2015 mencapai 1.894 titik. Setelah dilakukan restorasi gambut, titik panas pada 2018 di area target restorasi gambut turun menjadi 1.085 titik. Bahkan pada 2017, turun hanya menjadi 635 titik.
Begitu pula luas kebakaran pada area target restorasi gambut di Riau menunjukkan penurunan. Sebelum BRG melakukan restorasi pada 2015, luas areal yang terbakar di Riau mencapai 102.381 hektare (ha). Pasca-restorasi gambut, pada 2017 luas areal yang terbakar di area target restorasi turun menjadi 3.920 ha.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna A. Safitri, menekankan restorasi gambut yang baru dilakukan BRG selama tiga tahun terakhir ini memang belum sama sekali meniadakan kebakaran hutan dan lahan, karena untuk itu membutuhkan waktu yang panjang. Namun, restorasi gambut telah berhasil mengurangi kebakaran hutan dan lahan, yang tercermin dari menurunnya jumlah titik panas dan arel yang terbakar.
Terkait kebakaran yang kembali terjadi di beberapa wilayah di Provinsi Riau tahun ini, menurut Myrna, letak daerah yang terbakar itu jauh dari tempat pemukiman sehingga tidak bisa dengan cepat diketahui oleh penduduk desa.
Kepala Desa Lukun, Lukman, membenarkan daerah yang terbakar tersebut letaknya jauh dari pemukiman. Dia dan perangkat desa lainnya harus menempuh jarak 4-5 kilometer dengan memikul peralatan yang ada untuk sampai ke lokasi. Sedangkan kalau lewat laut, harus menunggu pasang surutnya air.
“Kejadian kebakaran itu mulai 10 Februari. Kami langsung menuju lokasi dan sebenarnya wilayah yang terbakar itu sudah dapat kami kuasai. Tapi karena kalau siang cuaca sangat panas dan ada angin kencang, api merambat lagi ke sudut yang lain. Sudut ini yang terlambat kami padamkan, karena peralatan yang terbatas dan api sudah telanjur membesar. Apalagi lokasi ini merupakan lahan yang mudah terbakar,” kata Lukman saat dihubungi lewat telepon.
Menurut Lukman, sejak BRG masuk ke wilayah mereka melakukan restorasi gambut, banyak warga desa yang sudah sadar dan berhati-hati saat musim kemarau tiba.
“Jadi tidak ada unsur kesengajaan sama sekali. Mindset warga sekarang ini sudah banyak berubah dan lebih berhati-hati. Hanya saja, area di tempat kejadian itu memang mudah terbakar. Karena letaknya jauh, penduduk desa baru mengetahui ada kebakaran setelah api membesar,” ujar Lukman.
Selain itu, menurut Lukman, ada wilayah yang terbakar yang belum menjadi target restorasi gambut BRG, seperti Desa Panthuk. Ke depan, desa ini harus masuk menjadi wilayah restorasi, karena meski termasuk hutan liar, ada warga yang memiliki tanah-tanah di daerah itu tapi tidak terurus.
Pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini, kembali terjadi kebakaran di beberapa titik di Provinsi Riau, termasuk di Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti. Sampai saat ini masih terdeteksi ada beberapa titik api.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepulauan Meranti Riau, Edy Afrizal, membenarkan bahwa cuaca panas dan angin kencang menjadi faktor penyebab munculnya titik-titik api baru. Edy telah berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) dan BPBD provinsi untuk mengatasi kebakaran yang terjadi di tiga desa, yakni Desa Lukun, Gayung, dan Tanah Merah.
“Kendala utama kami adalah pasokan air yang minim,” kata Edy, seperti dikutip Tribunpekanbaru.com, Rabu, 20 Maret 2019.
Untuk mengantisipasi kebakaran, BRG telah memasang 47 alat pemantau tinggi muka air di Riau. Melalui alat ini dapat dipantau kelembaban lahan gambut secara realtime melalui website SIPALAGA.
Di Kalimantan Barat, BRG dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat juga terus melakukan upaya aktif merestorasi ekosistem gambut. Hingga 2018, telah dilakukan pembasahan pada 42.755 hektar areal gambut yang rusak di provinsi ini.
Melalui restorasi gambut, luas kebakaran gambut di area target restorasi gambut BRG berkurang dari 26.664 ha pada 2015 menjadi 2.599 ha pada 2019.
Menurut Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut, Budi Wardhana, Pembangunan Infrastruktur Pembasahan Gambut (PIPG) yang dibangun BRG dan mitra berhasil menurunkan titik panas secara signifikan di area sekitar lokasi PIPG.
“Di provinsi ini, BRG, Pemprov, dan mitra LSM telah membangun PIPG sejak tahun 2016. Hingga 2018 berhasil dibangun 326 unit sumur bor dan 479 unit sekat kanal,” kata Budi di Pontianak, 20 Maret 2019. (*)