Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan soal aturan pindah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pemilu 2019 pada esok hari. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Azis mengatakan, siap menyosialisasikan apa pun keputusannya.
“Kami berharap rekan-rekan (media) juga sosialisasikan,” kata Viryan saat mengisi sebuah acara Google Indonesia di Jakarta, Rabu (27/3).
Uji materi ini bermula dari keputusan KPU yang menutup layanan pindah TPS sejak 17 Maret lalu. Banyak masyarakat yang menyayangkan hal itu karena mereka masih ingin mengurusnya.
(Baca: Dorong Partisipasi Pemilih, Mendagri Minta Pelibatan Ormas)
Dengan ditutupnya layanan tersebut, banyak masyarakat terancam tak dapat memakai hak pilihnya dalam pemilu 17 April nanti. "Banyak yang tak bisa pulang ke daerah asalnya," katanya
Viryan mengatakan permohonan uji materi tersebut awalnya diajukan dua kelompok masyarakat. Yang pertama adalah dua mahasiswa yakni Roni Alfiansyah Ritonga dan Joni Iskandar.
Kelompok lainnya terdiri dari pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay, Perkumpulan Untuk Demokrasi (Perludem), hingga Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Fery Amsari.
(Baca: Wiranto Sebut Pengajak Golput Dapat Dipidanakan)
Ada lima pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang masuk uji materi MK. Kelimanya adalah Pasal 210 ayat 1, Pasal 348 ayat 4 dan 9, Pasal 350 ayat 2, serta Pasal 383 ayat 2. Kelimanya berkaitan dengan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang menjadi gugatan.
KPU dan pemerintah sebelumnya telah diingatkan untuk menyelesaikan permasalahan pemilu, terutama menyangkut DPTb. Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw mengatakan, ketidakberesan terjadi di DPTb dan masih adanya masyarakat yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). "Dua itu yang sekarang mengemuka," kata Jerry belum lama ini.
Aturan pindah TPS
KPU sebelumnya mengatakan, akan mengakomodasi permintaan calon pemilih yang pindah TPS. Caranya dengan menerbitkan Peraturan KPU mengenai DPTb.
Namun, peraturan ini baru sah jika mendapatkan persetujuan dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya tengah mengumpulkan masukan dari para ahli mengenai hal ini.
"Kalau pemerintah dan DPR setuju, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu, bisa saja," kata Arief pada Februari lalu. Pengkajian dilakukan agar penyempurnaan PKPU ini tidak menjadi polemik yang dapat mengganggu Pemilu 2019.
(Baca: Akomodir Pemilih Tambahan, KPU Tunggu Lampu Hijau Pemerintah dan DPR)
Arief juga menjelaskan, wacana diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilu untuk mengakomodasi DPTb cukup merepotkan. Oleh karena itu, KPU berpendapat hal itu cukup dilakukan dengan Peraturan KPU saja.
"Bagaimana menyempurnakan (aturannya) kami bicarakan dengan para ahli," kata Arief. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, Perppu untuk menjamin hak pilih DPTb tidak perlu dikeluarkan. Pasalnya, Perppu baru relevan apabila ada situasi yang dirasakan genting oleh pemerintah.