Ombudsman RI mencurigai potensi jual-beli jabatan tak hanya muncul di Kementerian Agama. Ketua Ombudsman Amzulian Rifai menilai, potensi jual beli jabatan juga terjadi di kementerian/lembaga lain.
Ia mengatakan, lembaganya kerap mendapat laporan dari masyarakat terkait kejanggalan dalam seleksi jabatan di berbagai kementerian/lembaga. Misalnya, dalam pemilihan calon Rektor Universitas Padjajaran.
Ombudsman sebelumnya menduga Majelis Wali Amanat (MWA) Unpad tidak menjalankan standar operasional prosedur (SOP) dalam proses penerimaan masukan atau pengaduan terkait pemilihan rektor. Hal ini kemudian diduga mengakibatkan terjadinya maladministrasi. "Kami minta pemilihan rektornya ditunda, supaya dibenahi dulu," kata dia di kantornya, Senin (18/3).
(Baca: KPK Periksa Ruangan Menteri Agama terkait Kasus Suap Romahurmuziy)
Rifai mengatakan, berbagai rekomendasi untuk mencegah masalah dalam pengisian jabatan sebenarnya telah disampaikan kepada pimpinan kementerian/lembaga terkait. Hanya saja, rekomendasi Ombudsman tersebut kerap tak diindahkan.
Para pimpinan kementerian atau lembaga seringkali berjalan atas kemauannya sendiri. Mereka baru mengikuti rekomendasi Ombudsman hanya jika ada risiko masuk penjara. Kalau ada kasus hukum lebih berat, baru mematuhi rekomendasi Ombudsman. Padahal, kata Rifai, lembaganya sudah mengingatkan.
Karena itu, dia kembali meminta pemimpin di kementerian atau lembaga untuk menghindari potensi jual beli jabatan. Untuk mengantisipasinya, Ombudsman akan terus memantau kepatuhan kementerian atau lembaga dalam menjalankan rekomendasi. "Kalau tidak patuh juga, saya akan ngomong terang-terangan seperti ini. Kami akan buka kementerian atau lembaga yang tidak patuh," ujarnya.
(Baca: Romahurmuziy Diduga Telah Menerima Suap Sejak Februari 2019)
Kasus Suap Romahurmuziy
Kasus dugaan jual-beli jabatan di Kemenag sebelumnya terungkap setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada eks Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Rommy di Jawa Timur, Jumat (16/3). Rommy diduga telah menerima suap terkait perkara tersebut sejak 6 Februari 2019.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjelaskan konstruksi perkara ini terjadi pada akhir 2018. Pada saat itu, baru saja diumumkan seleksi terbuka melalui Sistem Layanan Lelang Jabatan Calon Pejabat Pimpinan Tinggi. Salah satu jabatan yang akan diisi adalah Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur.
Dalam situs http://seleksijpt.kemenag.go.id terdapat beberapa nama pendaftar, termasuk Haris Hasanuddin untuk seleksi jabatan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Sedangkan, Muhammad Muafaq Wirahadi mendaftar untuk posisi Kepala Kantor Kementerian Agama di Kabupaten Gresik.
KPK menduga terjadi komunikasi dan pertemuan antara Muafaq dan Haris dengan Rommy dan pihak lain. Muafaq dan Haris menghubungi Rommy untuk mengurus proses lolos seleksi jabatan di Kemenag. Pada 6 Februari 2019 Haris mendatangi rumah Rommy untuk menyerahkan uang Rp 250 juta terkait seleksi jabatan, sesuai komitmen sebelumnya. Pada saat inilah pemberian suap pertama terkait jual beli jabatan Kemenag terjadi.
Kemudian, pada Februari 2019 pihak Kemenag menerima informasi bahwa nama Haris tidak termasuk dalam tiga nama yang akan diusulkan ke Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Namun, pada Maret 2019, Haris dilantik oleh Lukman menjadi Kepala Kanwil Kemenag Jatim.
(Baca: KPK dan Ombudsman Kerja Sama Pertukaran Data dan Informasi)
Pada 12 Maret 2019 Muafaq berkomunikasi dengan Haris untuk dipertemukan dengan Rommy. Selanjutnya Muafaq, Haris, dan caleg DPRD Gresik dari PPP Abdul Wahab bertemu dengan Rommy untuk memyerahkan uang Rp 50 juta terkait kepentingan seleksi jabatan Muafaq pada 15 Maret 2019.
Laode menduga Rommy tidak bekerja sendiri untuk memuluskan jual beli jabatan ini. Oleh karena itu, penyelidikan akan dilakukan beberapa hari ke depan untuk memperkaya materi kasus ini. "Kami akan memberi update jika ada perkembangan dalam kasus ini," kata dia pada akhir pekan lalu.
Atas perbuatannya, Rommy yang diduga sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, Muafaq dan Haris yang diduga sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.