Kedubes Australia Gelar Festival Sinema Australia-Indonesia 2019

Arief Kamaludin | Katadata
Suasana pemutaran film nasional di bioskop Jakarta, Kamis, (27/09/2018).
Penulis: Michael Reily
Editor: Sorta Tobing
15/3/2019, 14.06 WIB

Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia menggelar Festival Sinema Australia-Indonesia 2019 di lima kota besar, yaitu Jakarta, Mataram, Makassar, Bandung, dan Surabaya. Dalam festival ini, lima film Australia dan tiga film Indonesia akan tayang pada 14 hingga 31 Maret 2019.

Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan Ao mengatakan film-film pilihan akan menjadi jendela untuk saling berbagi. "Film merupakan salah satu medium terbaik dalam meningkatkan pemahaman tentang negara lain," kata Gary saat pembukaan Festival Sinema Australia-Indonesia di Jakarta, Kamis (14/3) malam.

Dia menjelaskan, kurasi film dari negaranya akan memperlihatkan keunikan Australia. Contohnya, film drama remaja Ladies in Black, film dokumenter tentang penduduk asli Australia bertitel Gurrumul dan The Song Keepers.

Selain itu, ada juga drama keluarga Storm Boy serta film fiksi ilmiah Occupation. Lalu, festival ini juga akan menayangkan film-film pendek pilihan dari ajang Flickerfest, festival film terdepan di Australia.

(Baca: Terobosan Bekraf Membawa Produk Kreatif ke Pasar Global)

Gary memilih tiga film Indonesia untuk tayang dalam Festival Sinema Australia-Indonesia, yaitu Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) 1 dan 2 dari Miles Films serta Skala Niskala dari sutradara muda Kamila Andini. "Film juga bisa menggambarkan perubahan yang terjadi dalam kebudayaan," ujarnya.

Kesempatan untuk film nasional

Produser Mira Lesmana mengungkapkan Festival Sinema Australia-Indonesia adalah contoh yang baik untuk kolaborasi dalam penguatan industri sinema. Ajang ini juga menjadi tempat bagi masyarakat dan pelaku industri untuk berbagi pengetahuan tentang pembuatan film.

Mira menjelaskan, Australia telah menjadi destinasi kelas dunia dalam pembuatan film. Dia menyebutkan belajar banyak dari dua film daris ana, yaitu Picnic at Hanging Rock dan Gallipoli. "Kedua film itu juga memperlihatkan sejarah Australia," katanya.

Menurut dia, film Indonesia sekarang mulai mendapatkan pengakuan dunia internasional. Di dalam negeri, jumlah penonton film lokal pun terus meningkat dengan konsisten. Karena itu, pelaku industri perfilman harus terus meningkatkan pertumbuhan dengan membuka diri terhadap ragam film berkualitas.

(Baca: Mira Lesmana Garap Film Bebas, Adaptasi Box Office Korea Sunny)

Dia menambahkan, menjalin kerja sama produksi antarnegara merupakan kesempatan yang harus pelaku usaha ambil dari kolaborasi antar negara. Contohnya, dalam penayangan film Gurrumul akan ada sesi tanya jawab dengan sutradara Paul Damien Williams. "Mencari ilmu dari Australia akan menjadi pengalaman berharga," ujar Mira.

Apalagi, sumber daya manusia dalam negeri yang berkualitas untuk sinematografi dan film terlihat kesulitan mengikuti perkembangan industri nasional. Ekspansi festival film di Mataram juga jadi soroton khusus, terutama Nusa Tenggara Barat - khususnya Lombok - masih dalam pemulihan pascagempa.

Selain sutradara Gurrumul, ada juga sesi kelas bersama Kepala Pengembangan dan Produksi Screenwest Matthew Horrocks. Screenwest adalah badan pendanaan dan pengembangan film terkemuka yang ada di wilayah Australia Barat. Sesi ini bisa menjadi kesempatan pertukaran dan pengembangan proyek bersama.

Kemudian, ada juga Kepala Jurusan Komunikasi dan Seni Kreatif, Fakultas Seni dan Pendidikan, Universitas Deakin, Simow Wilmot; Dosen Film dan Desain, Fakultas Seni dan Pendidikan, Universitas Deakin, Liz Baulch; serta sutradara Skala Niskala (Seen and Unseen), Kamila Andini. Mereka bakal memberikan pengajaran kepada sineas muda Indonesia sebagai bagian dari festival.

Reporter: Michael Reily