Politik elektoral di Indonesia belum bisa menyelesaikan berbagai masalah perempuan. Diskriminasi terhadap buruh perempuan terjadi hampir di seluruh industri.
"Kami melihat politik elektoral tidak menjawab persoalan politik perempuan itu sendiri," kata juru bicara Komite International Woman's Day (IWD) 2019, Lini Zurlia di Taman Aspirasi Monas, Jakarta, Jumat (8/3).
Lini mencatat, berbagai persoalan perempuan yang terjadi terkait pemiskinan, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan hampir di seluruh sektor industri. Pemiskinan tergambar dari ketiadaan tunjangan pasangan bagi buruh perempuan, upah murah, hingga tidak ada upah lembur.
(Baca: Facebook Catat 39% Pengguna Akun Bisnisnya adalah Perempuan)
Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan perempuan lebih sering mendapatkan status kerja kontrak ketimbang laki-laki. Masih banyak pula perusahaan yang belum mengakomodir hak kesehatan reproduksi perempuan, misalnya pemberian cuti haid dan melahirkan serta sarana laktasi.
"Ini membuat kerentanan terhadap buruh perempuan," kata Nining.
Perempuan Indonesia yang menjadi buruh migran juga belum mendapatkan jaminan perlindungan yang baik dari pemerintah. Banyak di antara mereka yang terancam hukuman berat, termasuk hukuman mati.
(Baca: Terkendala Modal, Wirausaha Perempuan Sulit Berkembang)
Lebih lanjut, perempuan juga masih dijadikan sebagai objek eksploitasi untuk meraih sensasionalitas dan komersialisme. Lini mengatakan, masih banyak media massa yang produk pemberitaannya seksis dan tidak berpihak pada korban kekerasan seksual.
"Pemberitaan dan produk media justru melanggengkan stereotip untuk perempuan dan minoritas seksual," kata kata juru bicara Komite International Woman's Day (IWD) 2019, Lini Zurlia.
Belum ada pula jaminan keamanan dan kenyamanan bagi perempuan untuk beraktivitas di ruang publik. Komnas Perempuan mencatat angka kekerasan terhadap perempuan di ruang publik selama 2018 sebanyak 3.915 kasus.
(Baca: Tingkatkan Literasi Digital Perempuan, Kominfo Kembangkan Sisternet)
Kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.521 kasus, diikuti kekerasan fisik 883 kasus, kekerasan psikis 212 kasus, trafiking 158 kasus, dan kasus pekerja migran 141 kasus. Tiga jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi di ranah publik, yakni pencabulan sebanyak 1.136 kasus, perkosaan 762 kasus, dan pelecehan seksual 394 kasus.
Sementara, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) hingga saat ini masih mandeg. "Masih dibutuhkan satu payung hukum untuk mengakomodir kepentingan korban dalam kasus-kasus kekerasan seksual," kata Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus.
Atas dasar itu, sejumlah organisasi yang tergabung dalam Komite IWD 2019 mendorong peran politik perempuan yang independen. Mereka enggan untuk dilibatkan dalam politik elektoral yang tengah berlangsung tahun ini.
Lebih lanjut, mereka mengirimkan berbagai tuntutan kepada negara untuk mengatasi berbagai persoalan yang menimpa perempuan saat ini. Tuntutan mereka di bidang ketenagakerjaan adalah agar negara mendukung pengesahan rancangan Konvensi ILO tentang Penghapusan dan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Tempat Kerja.
Tuntutan Kesejahteraan Perempuan
Komite IWD 2019 juga menuntut pemerintah mencabut PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang dinilai tidak berpihak pada buruh perempuan. Mereka juga menuntut pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Permenaker Perlindungan Pekerja Rumahan, dan pelaksanaan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Mereka juga menuntut penghapusan sistem kerja kontrak, outsourcing, magang yang tidak melindungi kesejahteraan buruh. Lebih lanjut, Komite IWD 2019 menuntut penyediaan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual komprehensif sesuai Rencana Pembangunan Nasional. Mereka juga meminta pemerintah mencabut sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Di bidang kesehatan, Komite IWD 2019 menuntut penyediaan layanan dan fasilitas kesehatan yang merata dan adil gender, memenuhi jaminan atas cuti haid dan melahirkan tanpa persyaratan medis. Mereka pun menuntut pemberian ruang laktasi nyaman bagi perempuan pekerja.
Di ranah media dan teknologi, Komite IWD 2019 mendesak Kemenkominfo membangun sistem dan kebijakan yang mencegah meluasnya kekerasan berbasis gender dan seksual di ranah siber. Mereka juga meminta perusahaan media memproduksi isi pemberitaan yang ramah terhadap perempuan, adil gender dan berpihak pada korban.
Di bidang hukum dan kebijakan, Komite IWD 2019 menuntut penghapusan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif bagi perempuan. Mereka juga meminta peradilan yang mudah, murah, terjangkau, dan menyediakan fasilitas penunjang berperspektif HAM. Kemudian, mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung memiliki anggota dengan perspektif hukum adil gender dalam setiap penanganan kasus.
Di bidang ruang hidup dan agraria, mereka menuntut penghentian berbagai proyek infrastruktur yang merampas sumber kehidupan dan ruang hidup masyarakat. Mereka juga meminta adanya keterlibatan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan sumber daya alam dan program pembangunan berkeadilan.
Di bidang kekerasan seksual, mereka menuntut adanya pengesahan RUU PKS. Mereka juga meminta DPR mengamandemen UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam upaya menghapus kekerasan anak.
Di bidang identitas dan ekspresi, Komite IWD 2019 menuntut ketiadaan pembatasan kebebasan berekspresi perempuan. Mereka juga menuntut politisasi dan komodifikasi tubuh perempuan, keberagaman orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender hanya untuk kepentingan politik praktis atau agama tertentu.
Mereka juga menuntut adanya pengakuan hak seksual tanpa memandang usia, jenis kelamin, orientasi seksual dan ekspresi gender, stasus perkawinan, agama, ras, wilayah geografis, dan latar belakang ekonomi.